Satu ; bertemu

41.5K 3.8K 428
                                    


Warning :
Dongeng kali ini, mengisah

kan sebuah ketidaksetiaan.

Buat yang punya darah tinggi, atau ngerasa gk cocok sama cerita bergenre begini

Jangan nekat baca yes.

Aku juga udah kasih tag #affair ya

Vote and komen yes, biar aku tahu gimana respon kalian di dongeng kali ini hahaha

Buat pembaca baru, tenang aja kalian bisa menikmati cerita ini tanpa baca cerita-ceritaku yang lain kok. Setiap cerita yang aku buat, selalu bersifat lepas. Alias gk terhubung satu sama lain. Paling, hanya tokoh-tokohnya aja yang aku ambil. Dan untuk pembaca lamaku, tengkyu udah bertahan bareng aku sampe ke cerita ini jugaa hahahha

Oh ya, jangan lupa juga baca statement dari aku di bawah yaaaa...

Happy reading kesayangan eikee semua ...

***

Mimpi-mimpi itu terus mengejarnya.

Membikin lelap yang seharusnya menjadi penawar lelah malah membuat Bara merasa kian letih kala telah terjaga. Entah apa artinya, namun Bara mulai berfirasat bahwa hal itu bukan sekadar mimpi biasa. Bukan pula mimpi basah seperti kala ia masih berseragam sekolah. Intinya, ia tidak suka.

"Aku mimpi lagi, Ma," ia mengadu seperti balita sesaat setelah mendapati ibunya berada di dapur. Menarik salah satu kursi, ia empas tubuhnya seperti bocah yang tengah merajuk. "Mimpinya itu-itu mulu. Artinya apa sih, Ma?"

Kalau sekadar mimpi nikmat penggugah akal sehat, mungkin Bara akan senantiasa menikmatinya. Tetapi yang mengganggu tidurnya adalah mimpi-mimpi berepisode. Mimpi itu tampaknya memiliki alur yang panjang.

Rike menatap putra keduanya dengan sirat geli yang kentara, namun urung mengatakan apa-apa sebab ia tahu Bara hanya akan tak terima. Beranjak membuka lemari es, ia keluarkan jus jeruk yang memang ia siapkan untuk anaknya tersebut. "Minum ini dulu biar seger," ia angsurkan segelas. "Mama kangen ih, sarapan rusuh bareng kamu."

Bara hanya berdecak, ia tandaskan minumannya karena memang tenggorokkannya terasa dahaga. Mimpi dikejar-kejar ribuan prajurit bersenjata kerap membuat napasnya tersenggal-senggal saat terbangun. Dan yang anehnya, ia merasa benar-benar seperti baru saja mengikuti lari marathon. "Ma," ia panggil ibunya meminta perhatian. "Gimana sama mimpi-mimpi aku itu? Ini udah nggak wajar, Ma. Mimpinya itu, pemerannya sama. Mimpinya kayak sinetron kesukaan Bik Inah."

Usianya telah dewasa. Ia bukan remaja manja, namun kekhawatiran mengenai bunga tidur menyeramkan yang ia alami belakangan ini, mau tak mau menampilkan imejnya sebagai anak mama.

"Mama jangan bilang karena aku lupa baca doa, ya?"

"Emang kamu baca?"

"Ya, enggaklah. Kan udah lupa."

Rike hanya mencibir. Ia belakangi lagi anaknya dan fokus pada masakan di atas kompor. "Mimpinya masih bersambung terus?"

"Iya, Ma. Dan kali ini lebih serem. Aku sama cewek itu udah sampai di bibir jurang. Terus banyak prajurit ngepung dari segala arah."

"Coba kamu inget-inget, ada utang nggak sama orang?"

Bara menghela, ia lipat kedua tangan di atas meja. Lalu menelungkupkan kepalanya di sana. Meja makan sudah sepi sejak berjam-jam yang lalu. Padahal hari ini adalah hari libur. Entah ke mana papa dan adiknya berada.

"Ma, yang serius dong? Masaknya biar si Bibik aja. Mama duduk sini sama aku. Biar aku ceritakan dari awal sampai mimpi terakhir tadi."

"Nanti dong, Bar. Mama lagi sibuk ini."

TERIKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang