CHAPTER 1: Falling Down

64 23 24
                                    

Dia mengambang.

Tubuhnya telentang, mata tertuju pada langit pagi yang biru terang. Dia nyaris bisa melihat kumparan awan yang ada, juga pucuk pepohonan yang melambai-lambai digoda angin.

Segalanya tampak menyenangkan.

Satu tamparan di punggung menyadarkannya kembali dari lamunan. Dia tidak tahu apakah punggungnya luka, tapi yang jelas, langit kini tampak semakin jauh. Jauh, jauh, dan jauh. Sinar matahari yang mewarnai hari itu semakin membutakan seraya dengan satu tamparan lain di punggung. Satu lagi, sekali lagi, dua kali. Berkali-kali.

Matanya pedih. Air mata melayang ke langit, tidak seperti tubuhnya yang terus meluncur meninggalkan langit. Kedua tangan terarah hendak menggapai kehampaan. Kaki menggantung lesu seolah telah kehilangan fungsi. Kepang pirangnya melambai di sisi wajah. Pita putih berenda yang mengikat kepangan berkibar kencang. Di balik air mata yang berbulir-bulir di udara, dia juga bisa melihat wajah lelaki itu di kejauhan—di ujung tebing.

Dia meminta tolong, tapi suara enggan keluar dari mulut. Dan dia sadar, meski permintaannya mencapai lelaki itu, dia tetap tidak mungkin selamat.

Dia sekarat.

Hantaman-hantaman mengenai sekujur tubuh, menciptakan rasa sakit tak terperi yang membuatnya mempertanyakan kewarasan. Kemudian, satu hantaman lain membuatnya terbatuk hebat. Seisi tubuhnya serasa baru saja dipukul keluar dengan paksa, kemudian tidak ada yang terjadi. Kemudian, segalanya menjadi segelap malam.

***

"Joan, cepat!" Anak laki-laki itu menarik lengannya dengan semangat sambil tertawa-tawa. Wajah mudanya tampak sangat ceria dan bersinar, seolah matahari baru saja berpindah ke sana. Rambut pirang terangnya memantul di pipi penuh jerawat. "Kau tidak akan percaya ini!"

"Oh, semoga saja ini sesuatu yang menarik, Xander," gerutu Joan dibuat-buat.

"Pokoknya, kau tidak akan menyesal!"

Xander menyeretnya keluar dari rumah kayu mereka yang sempit dan berbau ngengat. Halaman belakang yang dipenuhi tanaman kubis dan labu mengerut menyambut. Langit pagi yang terang benderang menjadi atap mereka, disertai semilir angin sejuk khas pegunungan yang melambaikan poni pirang Joan. Hamparan pegunungan es di kejauhan seolah sedang menatap tingkah keduanya.

"Ada apa, Xander?" Joan menaikkan satu alis.

"Sini, sini!" Anak laki-laki itu menggeretnya masuk ke istal yang ada di pojok halaman belakang. "Kau harus lihat sendiri!"

Seekor kuda putih meringkuk di dalam istal tersebut. Kepala bermoncongnya mengendusi seekor kuda putih mungil yang sebagian bulunya masih lepek. Bau amis menggantung tajam dalam istal sempit yang disesakki jerami kering itu.

"Gilda sudah melahirkan!" seru Xander setelah melepaskan genggamannya dari tangan Joan.

Joan meringis lebar. "Kukira lahirnya minggu depan."

"Sudah kubilang, kan, bayinya akan lahir lebih cepat." Anak laki-laki berambut pirang itu berjongkok di sebelah Gilda si kuda, lalu mengulurkan kedua tangan. "Aku akan coba menyembuhkan lukanya sehabis melahirkan."

Semburat cahaya hijau keemasan memancar dari telapak tangan anak laki-laki itu. Cahaya yang menguarkan kehangatan itu melingkupi Gilda, membuatnya meringkik manja. Bayinya juga ikut-ikutan meringkik dan menjangkaukan kepala ke tangan Xander.

Lekas, Joan menarik kuat satu tangan adik lelakinya itu hingga dia berdiri terpaksa. Pancaran cahaya magis dari telapak Xander melindap seketika.

"Jangan lakukan lagi!" peringatnya. Matanya melebar melebihi batas, menelisik mata biru kehijauan adiknya dengan bengis. "Bagaimana kalau ada yang melihat?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 10, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HereticsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang