Bab 2 [Tamu Tak Diundang]

3 1 0
                                    

Shiren menatap tajam seorang pria di depannya. Ia ingat betul siapa pria ini dan apa saja yang telah dilakukannya saat itu. Benar-benar tidak bisa dimaafkan, batin Shiren mengingat kejadian beberapa tahun sebelumnya.

"Untuk apa kau ke sini?" Shiren menggenggam erat katana-nya.

Pria itu menyeringai. Menatap tertarik bilah tajam yang masih berselimut merah tengah menjadi pelampiasan Shiren. Dia tau reputasi Shiren saat ini tengah melambung, begitupun dengan katana merah yang setia menemani perjalanan perempuan itu.

Pria itu menipiskan bibirnya. Menyatukan kedua tangannya di depan dada, membungkuk sedikit untuk memberi salam khas murid seperguruan.

"Luo di sini untuk menjenguk kakak seperguruan," senyum tipis mengakhiri awalannya. "Bagaimana kabar kakak seperguruan hari ini?"

Shiren tak menjawab. Tatapannya dingin, begitu tajam, dan menusuk siapapun. Yasa yang masih mengawal Shiren, merinding. Pemuda itu merasakan aura mengancam dari tamunya, ditambah reaksi Shiren membuat Yasa yakin bahwa pria di depannya bukan orang biasa. Kakak seperguruan? Apakah pria ini kenalan Shiren di masa lalu?

"Pergi. Bilang padanya, sampai kapanpun aku tidak akan memberikan 'ini' padanya."

Pria itu tertawa terbahak-bahak. Mengejek Shiren yang kekeuh dengan pendiriannya. Diberikannya penghormatan terakhir, lalu melambai ke luar. Menghilang dalam sekejap mata, diiringi riuh burung gagak dan asap hitam.

Yasa membelalak terkejut. Itu ilmu hitam!

"Kakak? A.."

"Kumpulkan semua orang di lapangan. Kita latihan hari ini." Shiren menyela ucapan Yasa, membungkam laki-laki itu untuk tak bertanya lebih. Selepasnya Shiren naik ke atas untuk mengganti bajunya dengan seragam latihan.

~~~

Paginya, Shiren sudah bersiap di bangku depan Asagao. Menunggu pemilik untuk membuka kedainya. Ia heran, Hikaru begitu malas bangun pagi-pagi. Jika saja laki-laki itu masih tinggal di perguruannya, Shiren akan memberi banyak hukuman padanya. Sayangnya Hikaru termasuk anak berbakat.

Sepuluh menitan Shiren menunggu, Hikaru pun membuka kedainya. Laki-laki itu meringis melihat Shiren sudah duduk di depan kedainya, pasti sudah daritadi, pikirnya tak enak.

"Adikku merengek lagi kemarin. Tengah malam dia menggedor pintu rumahku untuk meminta obat." Hikaru berdiri dibalik meja panjang kedai, meracik minuman untuk Shiren. "Apa yang sudah kau lakukan kemarin malam?"

"Latihan. Berburu."

Hikaru menghela napas panjang. Secangkir teh ia hidangkan di depan Shiren.

"Yuan tidak pernah mengeluh seperti kemarin malam. Sekalipun kau memarahi dan menghukumnya karena menggunakan namamu untuk novelnya, bocah itu tidak pernah memaksaku membuatkan obat." Obat yang Hikaru maksud sebenarnya untuk Shiren. Saat Yuan mengeluhkan Shiren kemarin, bocah itu meminta kakaknya untuk meracik obat penenang.

Shiren tak menjawab. Ia meraih cangkir kecilnya, lalu menyesap seduhan teh dan rempah-rempah dengan perlahan. Menikmati tiap tegukan teh mengalir di tenggorokannya. Ekspresinya begitu tenang, namun pikirannya berkabut. Begitu banyak hal yang dipikirkannya sejak kepergian tamu tak diundang itu.

Begitu Shiren kembali ke kamarnya, ia melihat secarik kertas di meja kerjanya. Tinta semerah darah memberikan ancaman keras untuknya. Kertas itu hangus terbakar begitu Shiren selesai membacanya.

Tiga hari lagi. Apa yang bisa ia siapkan dalam waktu tiga hari?

Shiren tanpa sadar menggebrak meja. Membuat Hikaru dan beberapa pelanggan yang baru datang ke Asagao, terkejut di tempat.

"Sepertinya aku harus mempercayai Yuan kali ini." Hikaru menyipitkan matanya kemudian beranjak pergi untuk melayani pembeli.

Shiren melirik sekitarnya sekilas. Bibirnya membuka namun tak mengucapkan apa-apa, lalu menutup lagi. Perempuan itu mendesah berat, kepalanya tiba-tiba pusing.

"Aku pergi."

Hikaru mengangguk. Tatapan Shiren begitu lain hari ini. Aneh.

~~~

Perguruan Bambu Timur. Tempat Shiren menyebarkan ilmu dan kekuatan yang dimilikinya. Bukan sembarang murid yang ia angkat, sebagai pendirinya, perempuan itu mencari sendiri siapa yang akan ia angkat menjadi murid. Jikapun ada yang melamar menjadi muridnya, Shiren akan membaca masa lalu orang itu terlebih dahulu.

Kekuatan yang dimiliki Shiren bisa dibilang sangat berbahaya jika disalahgunakan. Dengan tumpukan kartu kuno dengan gambar magis, ia bisa mengontrol nyawa siapapun yang mengikat kontrak padanya. Shiren akan membuat perjanjian dengan seseorang, mengekstrak jiwa orang itu untuk disimpan di dalam salah satu kartu, untuk ditukarkan dengan kekuatan yang diinginkan oleh orang itu sendiri.

Yuan, Yasa, Hikaru adalah beberapa orang yang mengikat kontrak jiwa dengan Shiren. Sepupunya dulu juga hendak melakukan hal serupa, namun ia melarang Niwatori. Ia tidak bisa memegang nyawa penerus kerajaan ini disaat kekuatan yang dimilikinya menjadi incaran orang-orang jahat.

Saat mengetahui orang tua Niwatori adalah kerabatnya, Shiren meminta sebuah tanah di dekat hutan bambu. Ia mendirikan perguruan, mewujudkan impian masa kecilnya. Kemudian terbentuklah Perguruan Bambu Timur.

~~~

Shiren menghembuskan napasnya perlahan. Duduk bersila di dekat pengairan hutan bambu sangat membantu pikirannya tenang. Mata indahnya terbuka pelan untuk melihat seekor burung yang hinggap di salah satu batu.

Mata Shiren menajam. Seekor burung gagak, pasti tidak jauh dari tempatnya sekarang, pria kemarin mengawasinya. Ia mendekati burung itu untuk menemukan secarik kertas dengan tinta merah seperti sebelumnya.

Bersiaplah, kakak. Isinya. Kemudian kertas itu hangus seperti sebelumnya.

Shiren mendengkus. Ia menoleh pada helaian daun bambu yang bergerak kencang disaat dedaunan yang lain diam. Pria itu benar-benar mengawasinya.

"Kau akan menyesalinya! Berani sekali kau menantang ku kali ini!" Pekik Shiren pada siapapun yang mengamatinya. Mungkin ia disangka gila karena tidak ada siapapun di dekatnya.

"Aku akan memburumu, Xiao."

~~~

Laki-laki itu tertawa riang. Melihat-lihat penampakan katana yang tengah dipegangnya. Begitu indah, halus, dan tajam. Sekali lambai pasti menghasilkan banyak darah. Mungkin ia akan membuat katana baru lagi untuknya sendiri.

Dimasukkannya katana itu ke dalam sarung berkualitas buatan tangan. Hasil karya penyamak kulit terkemuka di kerajaan. Katana indah untuk seseorang terhormat di tanah mereka, memang sepadan.

Niwatori berjalan menuju kediaman sepupunya. Perguruan Bambu Timur nampak sepi, tidak ada tanda-tanda murid Shiren berkeliaran. Ia dengar kemarin malam murid-murid di perguruan ini melakukan perburuan besar-besaran. Hasil perburuan mereka dipertontonkan di alun-alun, beberapa kepala monster, kepala penjahat di kerajaan yang selama ini menjadi buronan, juga kepala binatang buas. Niwatori melihatnya sebentar sebelum ke sini.

Sepertinya suasana hati Shiren sedang buruk, batinnya bersimpati.

Pintu kamar Shiren nampak terbuka sedikit, membuat Niwatori tak tahan untuk mengintip ke dalam. Ia melihat Shiren tengah berkutat dengan sesuatu di meja kerjanya.

"Masuk saja atau kepalamu kupenggal."

Niwatori terkekeh. Ia menutup pintu kamar Shiren, menghampiri perempuan itu, kemudian meletakkan katana dengan hati-hati.

"Pesananmu jadi lebih cepat." Niwatori mendengkus kecil melihat mata sepupunya berbinar. "Mereka semangat sekali dalam membuatnya. Mengetahui orang paling berpengaruh yang memesannya, bahan-bahan yang awalnya mereka simpan di dalam peti rahasia pun dikeluarkan."

"Aku tak mengerti, mengapa mereka memuja seseorang berwajah dan berdada datar sepertimu. Eh, eh.. maaf, aku tidak bermaksud." Laki-lakinya itu menundukkan badannya.

"Ngomong-ngomong," Shiren melirik. "Siapa yang mendatangimu kemarin?"

Card of SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang