Awal Mula

12 5 0
                                    


Plak!

Gadis itu memegang pipi kirinya yang terasa memanas sebab tamparan yang tak terduga.

Pukulan yang terlalu kuat membuatnya oleng sehingga terduduk di lantai.

“Jangan sok cantik lo ya. Lo cuma gadis cupu yang menjijikkan.” Alih-alih menghentikan aksinya, Citra semakin menjadi-jadi dengan menjambak rambut Airin. Gadis dengan surai cokelat itu nampak tak berdaya.

“Aghrr,” erangnya.

“Gue peringatkan sama lo, jangan berani-beraninya mendekati Aksa! Gue gak akan segan-segan untuk berbuat lebih dari ini. Ngerti lo!” ucapnya dengan jari telunjuk berada tepat di kening Airin yang hanya menunduk.

“Cabut!” Ibarat kerbau yang dicocok hidungnya, ketiga gadis lainnya hanya menurut dengan wajah sinis menatap Airin.
Terdengar bisik-bisik dari para penghuni kantin.

Airin menatap nanar sekelilingnya. Mereka hanya menyaksikan tanpa mau membantu sedikitpun.

Menjadi anak kepala sekolah memang membuat Citra serasa terbang ke awang-awang. Tak ada yang berani melawannya jika tak ingin ia adukan dan bersiap mencari sekolah baru.

Sangat disayangkan perilaku orang tua yang memaksa buta akan kesalahan anaknya. Seolah kebenaran tertutup oleh kasih sayang yang salah.

Airin menunduk. Percuma ia bersedih. Meminta bantuan pun, tak akan ada yang mau menolongnya jika tak ingin berurusan dengan Citra dan gengnya. Geng pembully nomor satu di sekolah itu memang sangat ditakuti.

“Ayo.” Aksa mengulurkan tangannya. Wajahnya yang tampan membuat gadis manapun merasa bangga seandainya mampu memacarinya. Pria dengan senyum menawan merangkap sebagai ketua basket SMA Pelita Harapan itu begitu dielu-elukan kaum hawa.

Airin mengabaikan uluran tangan itu dan mencoba berdiri sendiri.

“Gak usah. Terima kasih. Aku tidak ingin berurusan dengan Citra dan gengnya.” Airin berbalik hendak pergi. Namun urung saat Aksa memegang pergelangan tangannya.

“Citra keterlaluan,” ucapnya dengan tangan mengepal. “Maaf, ini karena aku. Aku akan bicara pada Citra. Dia bukan siapa-siapa untukku. Dia tidak punya hak untuk melarang aku dekat dengan siapa pun. Aku ak--"

“Aku mohon, jangan menyusahkanku Aksa. Aku tak punya cukup kekuatan untuk menghadapi mereka. Kau pikir apa yang akan terjadi setelah kalian bicara? Dia akan semakin menyiksaku. Apa mereka membela? Mereka hanya diam melihat orang lain dibully.” Airin menunjuk para penghuni kantin. Sontak mereka saling berpandangan dan menundukkan kepala.

Aksa bungkam. Mencoba mencerna ucapan gadis yang telah merebut separuh hatinya. Gadis lugu penuh kasih sayang yang begitu dikaguminya. Perangai Airin, seolah menutupi kecupuannya.

Cengkeramannya perlahan mengendur seiring dengan dada yang kian bergemuruh menahan amarah.

Airin melangkah pergi. Aksa tak menahannya. Membiarkan gadisnya menenangkan diri, mungkin ide yang tidak terlalu buruk.

‘Akan kuberi kau pelajaran Citra,’ gumamnya.

****

Bel pulang berbunyi, Airin bergegas melangkah menuju sepeda mini berwarna pink miliknya. Satu-satu nya kendaraan berwujud sepeda di parkiran itu.

Dengan riang gembira, gadis itu mengeluarkan sepedanya. Seolah tak terjadi apa-apa tadi pagi.

“Assalamu’alaikum, Pak Ardi,” sapanya pada penjaga sekolah yang selalu menebar senyum manis setiap kali terlihat. Di siang yang terik pun senyumnya tetap memancar.

Petualangan Si EsperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang