Setelah Kecelakaan

7 4 0
                                    


Sepekan telah berlalu sejak sadarnya Airin di rumah sakit waktu itu.

Ia tengah mematut dirinya di depan cermin. Wajahnya nampak lebih berseri dari biasanya.

Jemarinya membuka laci meja rias, lalu meraih kotak kacamatanya. Kacamata tebal itu terlihat sudah patah di kedua gagangnya.

“Apa ini pertanda bahwa aku harus jujur pada diriku sendiri?” Ia kembali menatap pantulan dirinya di depan cermin.
Mata abu-abu nya nampak berkilau. Mata indah yang selama ini ia tutupi dari teman-temannya.

Kakek dan nenek Airin berasal dari negara Eropa Utara tepatnya di Finlandia. Negara yang terkenal dengan penampakan “Northern Light” Atau Aurora Borealis yang merupakan pemandangan yang sangat menakjubkan.

Ayah Airin tidak memiliki bola mata berwarna yang sama. Dia mendapat gen resesif dari kedua orangtua nya. Siapa sangka, gen dominan justru terjadi pada cucu mereka, Airin.

Ia berjalan menuju lemari berbahan jati dengan ukiran indah di setiap sisinya. Dikeluarkannya gamis berwarna putih dengan jilbab segitiga yang senada. Barang itu pemberian dari Wardah, sahabatnya.

“Wardah, aku merindukanmu. Hari ini, akan kukenakan pemberianmu. Ini sangat cantik. Aku yang selama ini tak menyadarinya.” Dipadukannya jilbab segitiga berwarna putih polos itu dengan seragam sekolahnya.

“Airin, ayo kita sarap ... pan, Nak,” ucap Clara terbata.

Gadis itu berdiri di tangga dengan penampilan barunya. Dia tersenyum lalu menghampiri ibunya tak lupa kecupan selamat pagi mendarat di pipi ibunya yang nampak masih bengong.

“Pagi, Ma. Maaf, Airin gak bantuin mama nyiapin sarapan. Airin janji, besok akan bangun lebih awal.”

Gadis itu menarik kursi kemudian mendudukkan diri di sana.

“Loh, Pa. Papa kok belum siap-siap? Gak bertugas emang?” tak biasanya ayahnya itu masih mengenakan baju santai di jam segini. Menjadi Komjen Pol mengharuskan ayahnya untuk lebih tanggap dalam menangani banyak kasus.

“Justru papa akan segera bertugas sayang. Ini penyamaran.” Ayahnya mengedipkan sebelah mata dengan senyum misterius.

“Oh iya, Airin hampir lupa. Papa kan paling jago dalam bersandiwara.” Satya mendelik.

“Papa gak bersandiwara. Papa sedang menyamar,” tegasnya.

“Sama aja kan Pa. Sama-sama gak jujur.” Airin mengangkat kedua alis.

“Heh, anak kecil. Iya, papa sedang bersandiwara. Tapi, sandiwara ini demi negara. Makanya, sekali-kali, kamu berkunjung ke kantor. Biar kamu tau tugas-tugas polisi itu gimana. Berbahaya tau.” Airin mengulum senyum. Senang rasanya pagi-pagi begini sudah menjahili papanya.

“Sudah-sudah. Kalian ini. Sering bertemu, tapi selalu saja bertengkar. Apa agenda kalian itu hanya tentang mengobrol dan bertengkar?” Clara memasang wajah sarkas.

Kedua anak dan ayah itu lantas saling berpandangan. Lalu melirik bidadari cantik yang kini tengah marah.

“Airin duluan, Ma,” tunjuk Satya.

“Enggak, Ma. Papa duluan.” Airin tak mau kalah.

Clara menepuk jidat. Lalu menghela napas pelan. Fokusnya teralih pada ponsel yang bergetar dia atas meja.

Netranya sedikit gusar membaca pesan di dalam sana.

“Mama mau berangkat dulu. Ada pasien.” Clara meraih tas nya.

“Tapi, sarapannya apa gak dihabisin dulu, Ma?” tanya Airin.

“Gak sempat sayang, ini darurat. Mama permisi. Assalamualaikum.” Ia meraih tangan Satya, menyalim dengan takzim sang suami. Lalu mencium kening sang putri, dan bergegas keluar.

“Ma, entar makan siang bareng ya. Papa jemput ke rumah sakit!” teriak Satya.

“Terserah Papa aja.” Terdengar teriakan dari luar sana.

“Pa, Airin juga mau berangkat. Tiga puluh menit lagi masuk. Entar telat lagi,” ucapnya sambil mencium pipi ayahnya.

“Kamu pakai mobil silver yang ada di garasi. Jangan naik sepeda,” ucapnya.

“Pakai mobil? Kan Airin ada sepeda, Pa.”

“Tiga bulan kamu tidur. Apa kamu urus tu sepeda. Sepeda kamu rusak parah. Stang nya bengok, tempat duduknya lepas, ban nya hilang, rant ....”

“Udah Pa. Jangan diterusin. Huwaaa .... Brebi, kenapa kamu ninggalin aku.”

Satya menautkan alis, illfeel melihat putrinya saat ini.

“Hei, yang rusak itu sepeda, bukan orang. Ngapain ditangisin. Lagian, udah saatnya kamu pakai mobil ke sekolah. Udah ada SIM juga kan.”

Airin menatap jengah papanya yang tak punya perasaan. Dia tidak tahu jika Brebi adalah teman susah-senangnya selama ini.

“Brebi itu sahabat aku, Pa.”

“Hah, sahabat? Masih banyak manusia yang bisa kamu jadiin sahabat Airin. Udah, udah. Sana berangkat. Papa juga mau bertugas.” Satya mendorong pelan putrinya menuju pintu. Jika diteruskan, mereka berdua bisa telat.

“Daa, putri kecil Papa. Hati-hati bawa mobilnya. Jangan ngebut,” ucapnya terkekeh. Airin mencebik namun tetap menjalankan mobilnya menuju sekolah.
.
.
.
.
Note:
Komisaris Jendral Polisi atau disingkat Komjen Pol memiliki pangkat yang setara dengan pangkat Letnan Jendral yang berada di kepolisian Indonesia. Komisaris Jendral ini membawahi dua perangkat penting yaitu Brigadir Jendral dan Inspektur Jendral Polisi. Komjen Pol ini dilambangkan dengan tiga bintang emas.

Jangan lupa vote dan komennya, Guys. Peluk online buat kalian.

Petualangan Si EsperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang