BAB 2

991 176 61
                                    

Usai mengunjungi kantor Fabian, Liora memutuskan mampir ke Bellerose, butik pakaian yang telah ia kelola selama tiga tahun terakhir. Bangunan butik tersebut baru selesai direnovasi pada beberapa hari yang lalu. Kini, Liora berniat memeriksa penataan etalase, manekin dan properti lainnya, sekaligus melanjutkan rancangan busana yang sempat ia kerjakan kemarin.

“Mbak Liora.” Firina, salah satu dari tiga karyawan yang ia pekerjakan pada butiknya terdengar menyapa, begitu kaki jenjang Liora mencapai ambang pintu Bellerose. Seperti biasa, wanita itu hanya membalas dengan anggukan kepala.

Tanpa mengatakan apa pun, Liora bergerak menyisir seisi butik berlantai dua tersebut, kedua matanya memeriksa tata letak setiap barang dengan saksama. Baiklah, segalanya tersusun dengan rapi, sesuai dengan ekspektasinya.

Meski tidak pernah mengatakan secara langsung, Liora bersyukur memiliki tiga karyawan yang handal dan solid seperti Firina, Selly, dan Doni. Seakan sangat mengenali pribadi Liora, mereka selalu mampu mengerjakan tugasnya dengan baik, bahkan menata tampilan butik sesuai dengan keinginan sang pemilik.

Usai mengecek bagian depan butik, Liora berjalan menuju ruang pribadinya yang berada di lantai dua. Saat tangannya bergerak membuka pintu, tubuh semampainya sontak mematung. Dua wanita berambut putih yang sangat ia kenali tampak asyik berbincang di sana. Mereka bahkan tidak menyadari kehadiran Liora, hingga akhirnya perempuan itu berjalan masuk, menimbulkan bunyi ketukan oleh stiletto putihnya yang beradu dengan lantai.

“Liora.” Ranti yang tersadar lebih dulu seketika menyapa Liora dengan wajah berbinar. Beliau adalah nenek Fabian, sekaligus sahabat baik nenek Liora—Hilda. Mendengar nama sang cucu disebut, Hilda segera memutar wajah.

“Lio,” sapanya senang.

Liora menganggukkan kepala dengan sopan, segaris senyum tipis merekah di bibirnya. Lantas, ia menghampiri kedua orang itu dan menyalami mereka dengan hormat.

“Kok, Oma pada nggak bilang mau ke sini?”

“Iya, kan kita pengen kasih kejutan,” sahut Hilda. Wanita berkacamata tebal dengan bingkai hitam itu terkikik. “Kita bahkan ngelarang pegawai-pegawai kamu buat kasih tahu.”

Liora mengangguk-angguk mengerti. Pantas saja ketika dia datang tadi, ketiga karyawannya tidak mengatakan apa pun.

“Tadinya kita pengen ketemuan di restoran deket sini, tapi Oma kamu bilang sekalian aja ke butiknya Liora. Kebetulan, Oma juga kangen sama kamu, pengen ketemu. Fabian apa kabar? Sudah seminggu lebih lho, kalian nggak ngunjungin Oma.” Kali ini, Ranti yang bersuara. Ia berpura-pura memasang wajah kesal, membuat Liora segera menggaruk tengkuk.

“Maaf, Oma. Belakangan ini lagi sibuk banget. Mas Fabian lagi banyak kerjaan. Sedangkan aku, kemarin habis ngurusin renovasi butik. Jadinya belum ketemu waktu yang pas buat berkunjung,” Liora menyahut sungkan. Wajah datar yang biasa ia tampilkan seketika menghilang begitu sudah berhadapan dengan Hilda dan Ranti.

“Iya, nggak apa-apa. Yang penting kamu dan Fabian tetap ingat untuk menjaga kesehatan. Jangan terlalu capek. Kita berdua ini … sudah nggak sabar pengen gendong cicit,” ucap Ranti. Ia dan Hilda terkekeh bersamaan.

“Betul, betul. Sesibuk-sibuknya kalian, harus tetap menyisihkan waktu buat bermesraan,” Hilda menimpali, dan keduanya terkikik lagi.

Sembari tersenyum dipaksakan, Liora menelan ludah. Jika sudah bertemu dengan kedua nenek yang sangat dihormatinya, pembicaraan memang tidak jauh-jauh dari cicit. Itu pula yang terkadang membuatnya merasa berat menghadapi mereka. Sebab Liora dan Fabian tidak pernah berencana memiliki anak. Bahkan tanpa sepengetahuan keduanya, mereka sedang mengatur perceraian.

The Boss and His WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang