perbatasan

5 1 0
                                    

bahkan baru sedetik pun aku mengenalmu aku tahu bahwa berhenti harus kulakukan. sejatinya sebelum memulai aku sudah berada di perbatasan.

---

Seperti biasa segelas kopi hangat dengan dua lembar roti selai kacang menjadi menu sarapan andalan ku. Lepas sarapan biasanya aku pergi ke kampus, tapi karena sekarang aku sedang libur aku memutuskan untuk pergi jogging.

"Jangan lama lama ya, kita kan bentar lagi mau pergi" kata Mama, dan aku mengacungkan kedua ibu jariku.

Setelah itu aku pergi meninggalkan rumah. Berlarian kecil mengelilingi kota.

Padahal baru beberapa meter ku berlari, peluh sudah membanjiri sekitaran pelipisku. Aku pun memutuskan untuk berhenti di salah satu taman yang langsung menghadap rumah kecil yang cukup menarik perhatian ku.

"Anak anak kecil itu ngapain disana? Rame banget, " monologku sembari merenggangkan otot tubuhku.

"Karena akhir pekan mereka lebih memilih menghabiskan waktunya untuk mengaji," seseorang mengejutkan ku dari belakang. Aku terhentak tentunya.

Orang itu malah tertawa melihat ku terkejut, aku mendengus sebal.

"Mau masuk?" kata laki laki berpeci hitam mengenakan baju muslim ku pikir berwarna merah marun dengan celana kain panjang berwarna hitam.

"Boleh emang?" tanyaku memastikan, karena sebenarnya aku pun cukup tertarik untuk masuk kedalam.

"Boleh dong, ayo ikut saya"

Entah angin darimana yang mendorong ku untuk mengikuti laki laki itu hingga aku sudah berada di dalam rumah itu saja.

"Rumah ini memang didesain untuk anak anak kecil ya?" tanyaku pada laki laki yang namanya bahkan tak kukenali.

"Ya begitulah, kenyamanan anak-anak itu yang utama" jawabnya sembari tersenyum. Hanya perasaan aku saja atau memang laki laki itu terus saja menghindari tatapan ku?

"Kak Fazannn!" anak anak kecil itu langsung berlarian kecil menghampiri laki laki tersebut, dengan senyuman hangat orang bersama Fazan itu memeluk satu per satu anak anak itu.

"Kakak bawa isli?" tanya salah satu anak berumur lima tahun sepertinya. Isli? Istri maksudnya?.

"Ohh bukan ini teman kakak, ayo beri salam pada kakak itu," ujar Fazan, langsung saja anak anak itu menghampiri ku.

"Kakak tantik,"

Aku tersenyum melihat anak anak kecil itu terlihat riang, Bisa kulihat Fazan pun ikut tersenyum.

"Ayo ayo sekarang kita mengaji dulu nanti ngobrolnya kita lanjutkan,"

"Oh ya kita belum kenalan," kata Fazan, Aku menjulurkan tangan ku lantas memperkenalkan diri "Maria Graciela,"

Dia tersenyum mendekapkan tangannya di dada "Fazan Hasan,"

"Ah maaf," aku langsung menarik kembali tanganku.

"Kakak duduk sini," salah satu anak kecil mengenakan jilbab berwarna merah muda menarik ku untuk duduk di sampingnya.

Rasanya tentram sekali melihat mereka, hati ku terasa tenang dan hangat.

Hampir dua jam aku berada di tempat ini, mengobrol dengan anak anak kecil itu juga dengan Fazan hingga aku lupa bahwa hari ini aku dan keluarga ku akan pergi.

---

"Lo ngadain pengajian kayak gini tiap akhir pekan doang?" tanya ku pada Fazan. Kami berdua hendak pergi menuju mini market.

Tentu saja kami tidak meninggalkan anak kecil itu sendirian, selalu ada Bude yang senantiasa membersihkan rumah itu bersama Fazan setiap harinya.

"Tidak, setiap hari sebenarnya hanya saja di akhir pekan kegiatan mengaji diadakan dua kali pagi dan sore setelah Ashar," jabarnya.

"Lo kuliah?" tanyaku lagi, "Duh maaf ya gue banyak tanya," lanjutku. Ku lihat dia tertawa kecil.

"Fakultas Sastra Indonesia,"

"Ooh, kalau gue ke rumah pengajian itu tiap akhir pekan boleh? Suka aja gue denger anak anak ngaji," kataku.

"Terbuka untuk umum, silahkan saja"

"Kakak!" suara itu menghentikan langkah ku dengan Fazan. Gibran disana tepat beberapa meter dari ku, dia adalah adik ku.

"Loh Gibran? Kok lo bisa tau gue disini?"

"Mama marah marah lo ga datang datang," kata Gibran. Aku ber-oh ria seperti melupakan sesuatu.

"Gila ya lo kak?"

"Lah? Sumpah gue lupa!" Aku menepuk jidat ku. Sekarang kan harusnya aku pergi dengan keluarga ku.

"Pulang," kata Gibran. Aku mengangguk sebelum pergi meninggalkan Fazan, aku menatap laki laki itu mengambil pena yang terselip di saku baju nya.

"Tangan," kataku pada Fazan. Laki laki itu tampak bingung tapi tetap menjulurkan tangannya padaku,

"Gak akan kena kok, catat ya no gue jangan lupa chat gue ok!"

Aku menulis nomor telepon ku diatas telapak tangannya. Lalu mengembalikan penanya dan pergi meninggalkan Fazan mengikuti Gibran yang sudah jauh di sana.

---

ilusi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang