Come Back, Please!

38 3 0
                                    

Aku sudah bertahun-tahun hidup di dunia ini, tetapi mengapa, ya, masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang hingga saat ini belum kuketahui jawabannya?

Tentang hidup, misalnya. Mengapa semua orang harus lahir jika pada akhirnya akan meninggal? Mengapa ada pertemuan jika harus ada perpisahan? Mengapa begitu banyak perbedaan dalam hidup yang membuat kita tidak boleh melewati batas-batas tak kasatmata? Mengapa? Mengapa?

"Oh, ayolah, Layla, sudah hampir lima belas menit kamu menatapi bianglala itu dan hanya diam. Kamu ini kenapa?"

Suaranya membuatku kembali ke dunia nyata. Aku tidak berniat menjawab pertanyaannya. Aku hanya ingin menatapnya untuk beberapa detik.

"Apakah tidak bisa kamu menetap di sini, sehari lagi saja?" kataku, sedikit merengek.

Dia tersenyum menenangkanku, tetapi hal itu sama sekali tidak membuatku tenang.

"Mauku juga begitu, tetapi jadwal pesawatku sudah tidak dapat diubah, jadwal sekolahku sudah tidak dapat diubah. Ikut saja denganku, Layla."

"Bercanda ya, kamu."

Ia tertawa sedikit sambil merangkulku, mencoba menenangkanku, tetapi lagi-lagi hal itu tidak dapat membuatku tenang. Kami hanya sahabat, meskipun aku menganggapnya lebih dari itu. Ia akan pergi ke Australia untuk melanjutkan studinya, sebelum aku sempat menyatakan perasaanku yang sebenarnya kepadanya. Aku pengecut, memang, karena aku takut merusak persahabatan yang telah kami bangun sejak kecil. Aku tidak ingin kehilangan dirinya.

Bagaimana jika ia menemukan sahabat baru yang lebih baik dariku? Lebih hebat dariku? Lebih menyenangkan dariku? Lebih memedulikannya dariku?

"Sampai kapanpun, aku tidak akan melupakanmu, okay?" katanya seakan dapat membaca pikiranku.

"Kamu harus janji untuk sering-sering pulang ke Indonesia ketika liburan. Kita harus membangun tenda lagi. Kamu tidak boleh membangun tenda sendiri di sana, nanti digrebek Satpol PP cabang sana."

Dia kembali tertawa. Aku ikut tertawa. Aku senang mengeluarkan lelucon sekadar membuatnya tertawa.

Gunung dan berkemah merupakan hal yang sangat kami sukai. Aku hampir yakin di sana, ia tidak akan menemukan gadis sepertiku, yang suka gunung dan berkemah juga. Ya, pasti tidak ada. Maka dari itu, aku sering berbangga diri mengumumkan bahwa akulah sahabat terbaiknya.

Sekarang, aku sedikit gelisah.

Ia kemudian mengajakku untuk menaiki bianglala yang sejak tadi kupandangi. Aku memang berniat menghabiskan waktu bersamanya sehari sebelum ia pergi. Toh, besok kami berdua dapat beristirahat, aku di rumah, dan dia di pesawat. Maka, aku mengajaknya – atau lebih tepatnya memaksanya menemaniku – untuk pergi ke Dunia Fantasi, tempat di mana kami dapat melepas penat dan menjernihkan pikiran sejenak.

Saat gondola kami telah mencapai titik teratas, terlihat jelas langit yang kemerahan, menandakan senja akan menetap sejenak sebelum terusir oleh kegelapan. Aku menatap langit sambil bernostalgia. Pikiranku terbawa ke senja pertama saat aku dan dia bertemu. Aku mengalihkan pandangan dari langit dan mulai menatapnya yang sedang menikmati langit senja.

"Jake, pernah nyangka gak, sih, kalau mungkin saja, senja ini adalah senja terakhir yang akan kita lihat secara bersama-sama..."

Kulihat, Jake hanya mengedikkan bahunya sambil tetap menatap langit.

"Jake! Aku kan lagi sedih, kok kamu ngga nanggepin, sih?"

"Maaf, deh, La, tetapi aku tidak ingin bersedih. Aku... tidak ingin melihatmu sedih lagi."

Aku menatap Jake, dan kali ini, dia balas menatapku.

"Kamu ingat gak, sih, La, pertama kali kita bertemu saat kita masih kecil, di taman. Saat itu, kamu sedang menangis histeris. Aku sampai bertanya-tanya, apa sih hal yang dapat membuat seorang anak perempuan menangis seperti itu. Ketika aku menghampirimu, kamu malah semakin histeris. Aku pun sadar bahwa kamu menjerit dan menyebut-nyebut kata "Mama" berkali-kali. Orangtuaku datang, menarik, dan memelukku. Kulihat, kamu juga telah berada dalam pelukan seorang ibu-ibu tua, yang awalnya kukira adalah mamamu..."

"Nyatanya, beliau bukanlah mamamu, karena kamu tetap menangis sambil berteriak mengeluarkan kata-kata yang masih sama. Kulihat, kamu terus menerus menatap ke jalan raya sebelah taman, dimana ada sebuah mobil dan kerumunan orang banyak. Saat itu, aku sama sekali tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya diam, memperhatikanmu membuat keributan, dan berharap keributan yang kamu timbulkan dapat membawa orangtuamu kembali kepadamu, namun nyatanya tidak. Kamu tahu apa yang kurasakan saat itu? Sakit. Karena itu adalah kali pertama aku melihat seseorang menangis sekencang itu..."

"Sejak saat itu, aku berjanji dalam hati, akan menjadi temanmu hingga selamanya, agar aku dapat melindungimu selalu, menemanimu di setiap fase kehidupanmu. Tetapi, maaf, karena saat ini aku begitu payah, bahkan janji yang kubuat sendiri akhirnya tidak dapat kutepati..."

Kulihat penyesalan besar di kedua matanya. Aku jadi merasa bersalah.

"Jake, sudahlah, aku dapat menerimanya, kok. Bagaimanapun, kamu memiliki kehidupan yang harus kamu jalani, cita-cita yang harus kamu capai. Aku yakin, kamu akan menjadi orang yang sukses. Pokoknya, kamu harus janji untuk tidak boleh menyerah sampai kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan! Di sini, aku akan menjalani kehidupanku. Jangan khawatirkan aku, kamu harus percaya sama aku," kataku sambil tersenyum.

Bodoh. Mana bisa aku menjalani kehidupanku tanpanya, setelah sepuluh tahun belakangan ini, aku selalu mengandalkan dirinya dan keluarganya. Namun, apa boleh buat, jika aku tidak berkata demikian, aku takut Jake akan semakin diliputi oleh rasa bersalah.

Kulihat Jake merogoh saku celananya dan mengeluarkan sesuatu. Sebuah gelang. Ia kemudian menarik pergelangan tanganku dan memakaikan gelang tersebut melingkari pergelangan tanganku.

"Layla, terima kasih untuk segalanya. Ini dijaga, ya, meskipun aku jauh, tetapi dengan gelang ini, anggap saja kalau aku akan selalu ada di sampingmu, menemani setiap langkahmu, dan mendukung kamu apapun yang terjadi. Tungguin aku balik, ya."

Aku menatapnya sejenak, air mataku jatuh dengan cepat. Aku segera memeluknya. Pelukan terakhir sebelum ia pergi meninggalkanku. Di bawah langit senja yang menjadi saksi, aku dengan rela melepaskan kepergiannya, berharap yang terbaik untuknya, dan berjanji akan menunggunya hingga ia kembali. Kurasakan ia mengusap rambutku dengan lembut. Aku akan rindu saat-saat seperti ini. Ya, meskipun ia belum tahu perasaanku yang sebenarnya, namun satu hal yang aku tahu, bahwa ia pasti akan kembali untukku.

****

Hai!! Baru coba-coba bikin fanfict nih, jadi cerpen dulu aja haha semoga sukaaa
Kali ini tokohnya Jake dan Layla... bagi yang tau enhypen, pasti gak asing kan dengan nama Layla? Di sini, kita anggap wujudnya manusia ya hahaha

Thank you buat semua yang udah baca, jangan lupa tinggalin jejak!!
Kritik dan saran ditunggu bangett :D

Come Back, Please! || Jake EnhypenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang