part 2

784 43 0
                                    

Udara dibawah pepohonan terasa panas dan lembab. Rasanya lengket diwajahku. Daun daun palem yang lebar terjulur begitu rendah, hanya tinggal berjingkat aku sudah bisa menyentuhnya.daun daun itu nyaris menutupi sinar matahari, tapi berkas berkas cahaya kuning menyelinap, menyinari tanah rawa seperti lampu sorot.

                Rumput liar yang gatal dan daun daun semak menggesek –gesek kakkiku yang tidak tertutup. Coba aku tadi pake celana jins, bukan celana pendek. Aku berjalan disamping kakakku terus ketika kami melalui jalan setapak yang sempit dan berkelok-kelok. Teropongku yang tergantung di leherku, mulai terasa berat di dada. Mestinya tadi kutinggalkan saja di rumah, fikirku.

“ribut sekali disini,” keluh kakakku, sambil melangkahi batang pohon yang sudah membusuk.

Ia benar. Hal yang paling mengejutkan tentang rawa rawa ini adalah suara suaranya.

                Dari atas terdengar kicauan burung yang dibalas burung lain dengan siulan melengking. Serangga-serangga menggerik keras di sekeliling kami. Kudengar suara tap-tap-tap yang teratur, seperti suara orang sedang memukul kayu. Mungkin burung pematuk kayu? Daun palem bergerak tertiup angin. Batang-batang pohon yang kurus bergerak-gerak kesana kemari. Sandalku berbunyi plop plop,terbenam di tanah rawa.

“hey, lihat,” kata Elsa sambil menunjuk sesuatu. Di bukanya kacamata hitam miliknya agar bisa melihat lebih jelas.

                Kami sampai di kolam kecil berbentuk oval. Airnya hijau tua, setengah tertutup bayangan. Di permukaannya mengapung bungai teratai, merunduk indah diatas dauunya yang hijau dan datar.

“cantik,” kata Elsa, diusirnya kumbang yang menempel di bahunya. “aku akan membawa kamera kemari dan memotret kolam ini. Lihatlah cahaya itu! Amazing”

Kuikuti arah pandangannya. Ujung kolam yang di dekat kami gelap tertutup bayang-bayang panjang. Tapi diujung lain tampak cahaya bersinar di sela sela pepohonan, bentuknya seperti layar terang yang tertuang ke dalam air kolam yang tenang.

“memang bagus” kataku mengakui. Aku tidak terlalu suka kolam. Aku lebih tertarik pada fauna.

Kubiarkan Elsa mengagumi kolam dan teratai itu sebentar. Lalu kukitari kolam dan berjalan semakin jauh ke dalam rawa

Sandalku berkecipak di tanah yang basah. Di depan, segerombolan ngengat berputar sangat banyak yang di terangi cahaya matahari.

“jijik,” gumam Elsa. “aku benci ngengat. Melihatnya saja sudah bikin gatal.” Sambil menggaruk lengannya.

Kami berbalik dan melihat sesuatu yang berlari-laridi balik batang pohon rebah yang tertutup lumut.

“hei—apa itu tadi?” seru Elsa, dicengkramnya sikuku.

“Buaya!” teriakku. “Buaya lapar!”

Kudengar ia menjerit ketakutan sambil menggoyang goyangkan lengan kananku. Melihat tingkahnya yang lucu, aku tidak tahan menahan tawaku. Aku tertawa. “kenapa sih kau ini, El? Itu tadikan cuman sejenis kadal.”

                Mendengar jawabanku, rahangnya mulai mengeras. Lenganku diremasnya dengan kuat” sialan kau, Glady,” gumanya. Digaruknya lengannya lagi. “ di rawa ini terlalu gatal” keluhnya “ay kita pulang.”

“sedikit lagi,” kataku memohon, sambil ku keluarkan puppy eyes-ku

“tidak. Ayolah. Aku ingin pulang.” Ia mencoba menarikku, tapi aku menghindar dari cengkramannya. “Glady—“

                Aku berbalik dan berjalan menjauh darinya, masuk semakin dalam ke rawa. Kudengar suara tap-tap-tap lagi, tepat diatas. Daun-daun palem saling bergesekan, ditiup angin basah yang lembut. Suara serangga mengerik terdengar semakin keras.

“aku pulang, biar kau disini saja,” ancam Elsa.

Tidak kupedulikan ancamannya dan terus berjalan. Aku tahu kalau ia cuman menggertakku.

Sandalku berderak menginjak daun-daun palem cokelat kering yang berjatuhan. Tanpa perlu berbalik, aku bisa mendengar Elsa berjalan beberapa langkah di belakangku.

                Seekor kadal melintas lagi, tepat di depan sandalku. Kadal itu kelihatan seperti anak panah hitam yang melesat ke dalam semak-semak.

                Tiba-tiba aku merasa tanah yang kuinjak i semakin menanjak. Kami menaiki bukit landai menuju tempat yang diterangi sinar matahari. Semacam tempat terbuka.

                Keringat mengalir deras di pipiku. Udara begitu lembap, rasanya seperti sedang berenang saja.

                Dipuncak bukit kami berhenti untuk melihat sekeliling. “hey, ada kolam lagi!” teriakku sambil berlari menginjak rumput rawa yang kuning dan gemuk-gemuk, bergegas menuju tepi air.

Tapi kolam yang ini kelihatan lain.

Airnya yang hijau tua tidak datar dan halus. Dengan membungkuk, aku bisa melihat airnya yang keruh dan kental, seperti sup bubur kacang. Suaranya berdeguk dan bergelebur, menjijikan.

Aku semakin membungkuk supaya bisa melihat lebih jelas.

“itu lumpur hisap!” kudengar Elsa berteriak ngeri.

Tiba tiba ada dua tangan mendorongku kuat-kuat dari belakang.

*****

Hai hai... sampai sini aja yak..

Ada yang tau ga, nih cerita kek apa?-

----votment---- lysm :-*

goosebumps-Werewolf (k_k1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang