Chapter 3

2 0 0
                                    


Di belakang desa menjulang gunung-gunung tinggi berpucuk selimut salju lengkap dengan hamparan bukit berumput di bawahnya. Di depan desa menghadap langsung ke barikade hutan besar yang sepertinya menutup semua lereng hingga kaki gunung. Hutan besar itu berada di sebelah selatan desa mengelilingi hampir satu putaran penuh.

Aku bisa bilang desa itu memiliki depan dan belakang, dikarenakan Aula Desa menghadap ke arah hutan. Aula berupa gedung luas dengan satu menara lonceng berdiri kokoh itu berada di antara rumah kayu milik warga, di tengah desa. Aula yang berfungsi sebagai pusat petinggi desa itu terbentuk dari tumpukan bata abu-abu gelap, lengkap dengan taman kecil sepanjang jalan utama yang berbaris pohon rindang. Jalan utama itu menyambungkan jalan-jalan kecil lainnya di kelokan-kelokan kecil. Lurus menembus padang rumput, persawahan, hingga masuk ke dalam hutan. Jalan yang berawal luas dan rata di depan Aula Desa itu kian mengecil hingga menjadi jalan sempit berlumpur saat memasuki mulut hutan tempat kami berdiri sekarang.

Setelah kami mengembalikan domba-domba milik bibi Giro ke kandangnya, Shira lantas memaksa kami mengikuti permintaannya mencari seekor landak. Tidak dengan tarikan paksa, maupun dumelan seperti gadis seumuran, dia malah menarik paksa kami dengan senyum manisnya yang merekah. Rambut sebahunya yang terhembus angin seakan melambai-lambai meminta aku dan Willy segera menyusul.

"Wah, aku kira kau tak tertarik dengan hal semacam ini Adam, Willy." Shira jelas sengaja menuntun kami kesini, dia tahu persis kami mengikutinya. "Yah, mau bagaimana lagi, kita sudah terlanjur jalan." Shira terkekeh.

"Yang seharusnya bilang mau bagaimana lagi itu kami tahu." tebakanku benar, Willy hendak mengatakan itu. Willy melangkah santai menggaruk rambutnya dengan satu tangan, tangannya yang lain tetap bersembunyi di saku celana kremnya.

Aku tak berniat berkomentar. Lebih asyik memperhatikan hutan dengan pohon-pohon besar menjulang. Aku tak keberatan sama sekali untuk mengikuti kemauan Shira, lagi aku bisa meng-eksplore lebih luas ketimbang bolak-balik di desa. Tak ada yang menarik di desa, hanya krisis kelaparan yang membuatku tertarik dalam artian lain.

Kami berdiri di mulut hutan dengan papan penanda bertuliskan "Bahaya" tertanam di kiri jalan. Jalan tanah berlumpur itu hanyut menyusuri hutan hingga tak terlihat. Jarak mulut hutan dengan desa cukup jauh melintasi padang rumput sehingga warga yang lain tak melihat ada yang hendak nekat memasuki hutan.

Kami mulai melangkah, Shira memimpin di depan. Lima menit berlalu kami sudah memasuki hutan. Lembab dan gelap terasa, cahaya matahari sukar untuk memasuki hutan terhalang dedaunan pohon besar. Suara burung dan serangga lainnya saut-menyaut mengisi langit-langit hutan. Satu-dua burung melintas tepat di atas kepala, beberapa bertengger memperhatikan kami.

"Aku rasa kita harus belok kiri." Langkah riang Shira terhenti menunjuk ke arah kiri jalan. "Kalau kita terus mengikuti jalan ini, kita hanya akan masuk hutan lebih jauh lagi."

"Apa kau sudah gila?" Aku yang tengah menyusuri langkah kaki Shira pun terhenti, melipat dahi. "Kalau kita mengubah arah, kita bisa kehilangan satu-satunya petunjuk untuk pulang, yaitu jalan ini." Aku menunjuk ke arah jalan lumpur yang menjalar lurus ke dalam hutan.

Willy berdiri di sampingku dengan tangannya yang masih bersemayam di saku celana, memperhatikan sekitar.

Aku tidak keberatan mengikuti Shira memasuki hutan, itu karena kita terus berjalan menyusuri jalan berlumpur ini. Dengan adanya jalan berlumpur ini, aku sedikit bisa merasa tenang karena saat kami hendak kembali pulang, kami hanya perlu menyusuri jalan berlumpur itu lagi menuju desa.

Tetapi perkataan Shira membuat rasa tenangku memudar dengan cepat. Bagaimana kalau kita tersesaat? Kita tidak tahu medan tanah di hutan sekililing kita. Bisa saja terdapat jurang besar bahkan hewan pemakan daging.

Seventh VillageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang