Aku seketika mengambil kayu lebih besar yang tergeletak di lantai. Segera berlari keluar dari gudang setelah mendengar suara bising dari dalam. Aku berteemu Willy yang juga berlari dari bagian kanan bangunan mendengar suara itu.
"Ada apa?" aku bertanya pendek.
"Aku tak tahu, Shira ada di dalam." Willy sama paniknya denganku segera menerobos pintu bersayap dua itu tanpa berkomentar. Aku mengikutinya berlari. Tidak ada siapapun di ruang ini, hanya meja panjang tua, beberapa pintu di sudut ruangan, dan tangga menuju ke atas – lantai dua. Willy berlari cepat mendobrak salah satu pintu kamar lantai satu. Aku melesat menuju tangga penghubung ke lantai dua. Melihat Willy yang sepertinya semakin panik, aku memanggil menyuruh dia ikut denganku ke lantai dua. Aku yakin suara itu berasal dari sana.
Dengan Willy yang mengikutiku dari belakang, aku segera melesat menuju pintu ruangan di lantai dua. Belum sampai aku menggapainya, Shira sudah berdiri terdiam di depan pintu. Aku memperlambat langkah menepuk bahu Shira, begitu juga Willy, kedua tangannya kini benar-benar keluar dari persemayaman saku celana – berdiri di belakang Shira.
Belum sempat aku bertanya, aku sudah melihat jawabannya lebih dulu. Sesuatu yang membuat Shira berdiri membisu tepat berada di depan. Dua ekor hewan berkuku tajam tengah menyantap mangsanya bersama. Aku memperhatikan muka Shira yang pucat mencoba untuk tidak membuat suara sedikitpun. Tangannya menutup mulut dengan mata ketakutan.
Namun terlambat, dua hewan buas itu menyadari keberadaan kami, mendenguskan napas, menoleh geram diantara gelapnya ruangan. Aku bisa melihat matanya tertuju pada kami yang berdiri lima meter jaraknya. Tanpa disuruh, Willy segera menarik lengan Shira berlari menuruni tangga.
Satu hewan buas itu menerkam ke arahku. Tangan kananku yang memegang kayu dari gudang sebelumnya sontak terayun memukul telak kepala hewan buas itu. Hewan itu terpelanting ke sisi ruangan membuat hewan buas satunya turut menerkam. Tangan kiriku sigap menutup pintu ruangan, tapi percuma. Pintu itu tidak memiliki kunci ataupun kayu penyanggah. Menyadari itu, aku segera berlari meninggalkan ruangan, menyusul Willy dan Shira.
Aku sudah berhasil keluar dari rumah tua itu bersama Willy dan Shira. Namun kedua hewan buas itu tak kalah sigapnya. Mereka mengejar kami dengan suara raungan memekakkan telinga. Disela lariku, aku memberanikan diri menoleh ke belakang. Hewan itu ternyata dua ekor serigala. Serigala yang persis sama seperti di buku pelajaran namun yang sedang mengejar kami ukurannya jauh lebih besar. Gigi taringnya menyuak tajam.
Kecepatan lari serigala di belakang kami jauh lebih cepat. Satu serigala menerkamku. Aku seketika terjatuh telentang memegang balok kayu dengankedua tangan, menghalangi gigitan gigi tajam di atasku. posisi serigala tepat berada di atas tubuhku yang tersungkur. Selagi serigala itu menggigit balok kayu yang kupegang, satu serigala yang lain menerkam Willy. Namun Willy hanya menghindar-hindar dengan lincah. Kekuatan fisiknya tidak sekuat aku, tapi tubuh kecilnya mendukungnya bergerak lincah.
Air liur seriga menetes keluar dari mulut, mengerang kuat mencoba mencabik. Tak mau menunggu balok kayu yang kupegang patah tergigit, aku menendang kuat perut serigala di atasku. Aku segera berdiri saat serigala itu melepaskan gigitannya. Segera ku ayunkan tangan kananku memukul telak di wajah serigala, membuatnya terpental tiga meter. Itu memberiku cukup waktu untuk pergi ke tempat Willy. Dia kini sudah terjatuh karena menghindari serangan bertubi-tubi.
Balok kayu ku sudah terarah lurus, memukul serigala yang hendak menerkam Willy. Namun sepertinya tidak terlalu berpengaruh. Serigala ini berbalik menyerangku, aku menahannya kembali menggunakan balok kayu sama seperti seblumnya, namun dengan keadaan berdiri.
Tanpa ku suruh, Willy sudah mundur mendekati Shira yang hanya bisa melihat ketakutan. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku tak yakin bisa menahan serigala ini apalagi melawan, ditambah lagi serigala satunya sudah berdiri mantap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventh Village
FantasyAku terjebak dalam kereta kuda pengangkut panen bersama dua sahabatku. Melewati barikade hutan yang sudah ratusan tahun mengurung desa, menghadapi hewan buas yang tak pernah kutemui, dan tak sengaja membuka tabir rahasia yang selama ini menyiksa. In...