"Tolong angkat karung jagung yang masih ada di ladang, Adam. Nanti ayah menyusul."
Aku tanpa berkomentar segera kembali ke ladang milik ayahku, mengusap peluh. Sudah empat kali aku bolak-balik mengangkut karung. Ladang ayah cukup jauh dengan kereta kuda yang mengangkut karung-karung penuh jagung itu. Sekitar empat ratus meter jauhnya.
Kaki matahari tepat berada di atas kepala. Terik panas mengembus membuat haus tenggorokan. Langkah demi langkah ku lalui menuju ladang. Kaus putihku yang basah oleh keringat tersibak-sibak angin yang lalu lalang, diikuti deruan daun bergoyang di atas pohon.
Aku sampai di depan ladang ayahku setelah sepuluh menit berjalan. Ladang dengan pohon jagung yang sudah dicukur habis pasca panen itu terlihat lengang. Bentuk ladang persis persegi dengan sisi tujuh meter dan dikelilingi pagar kayu. Pagar kayu itu hanya terdiri dari dua batang bambu atas-bawah horizontal, diikat bambu kecil yang tertancap ke tanah setiap dua meter.
Di sudutnya berdiri pondok tempat berteduh yang juga terbuat dari anyaman dan batang bambu, lengkap dengan atap dari tumpukan daun kelapa. Pondok itu berada di dalam ladang dan sejajar sebelah kiri dengan tempat aku berdiri sekarang.
Aku melirik ke arah pondok bambu itu, tergeletak satu karung jagung tak terlalu besar. Aku melangkah masuk di antara parit-parit ladang, kembali mengusap peluh keringat. Dengan hitungan dalam hati, aku mengangkat karung itu dengan sigap dan segera melangkah keluar ladang. Kakiku sudah kebas.
Tubuh tinggiku mengangkut karung penuh jagung di pundak melintasi jalan desa. Satu dua penduduk menyapa, Anak-anak berlarian riang. Beberapa penduduk terlihat duduk beristirahat di tepi ladangnya masing-masing, beberapa hendak bergegas pulang, beberapa pula hanya duduk santai di teras. Rumah-rumah warga ini hampir semuanya berbahan kayu semi panggung, lengkap dengan jendela dan pintu yang juga berbahan papan-papan kayu.
Dikala terik menyingsing, seluruh masyarakat desa lebih memilih beristirahat setelah lelah berladang. Tapi itu tidak berlaku bagi anak-anak, mereka lantas asyik bermain. Terik matahari tidak dapat mengurangi tawa mereka, sekalipun orang tua mereka berseru-seru memanggil.
Empat menit berlalu, di belakang kereta kuda, aku menghentikan langkah segera menurunkan karung yang ada di atas pundak. "Terimakasih Adam. kamu pulang duluan saja, ayah masih ada perlu." Ayah membiarkan karung itu tergeletak di tanah, hendak melanjutkan obrolannya dengan petinggi desa.
Aku mendenguskan napas lelah, berbalik kanan tanpa berkomentar. Beberapa langkah berjalan meninggalkan para petani yang juga hendak mengangkut hasil panennya, aku masih mendengar percakapan ayah dengan petinggi desa itu.
"Haha, maafkan saya tuan, hanya itu yang dapat saya panen." Suara ayah yang sepertinya sedang menggaruk kepala cengengesan.
"Tidak apa, bahkan ini lebih dari cukup. Jagung-jagung kamu memang bisa diandalkan." Suara petinggi desa itu terdengar melebih-lebihkan.
"Ah, terima kasih tuan. Berkat anda juga..."
Aku tidak tertarik menguping pembicaraan para orang tua itu - terus melangkah pergi. "Menyebalkan."
***
Ditengah jalan menuju rumah, aku melihat dua orang yang tak asing, melambai-lambai. Itu adalah teman-temanku, Willy dan Shira. Willy melambai pendek sembari tersenyum tipis. Rambutnya yang pirang cerah tersibak deruan angin. Tangan kanannya bersembunyi di balik kantong celana yang berwarna krem. Disebelahnya berdiri Shira melambai-lambai tersenyum lebar memanggil. Rambut hitam sebahunya mengiringi tarian rambut Willy terhembus angin. Kemeja putih dengan gaun berwarna krem selututnya nampak serasi. Lengkap dengan ransel kecil dan alas kaki berupa sandal yang dipakai Shira maupun Willy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventh Village
FantasíaAku terjebak dalam kereta kuda pengangkut panen bersama dua sahabatku. Melewati barikade hutan yang sudah ratusan tahun mengurung desa, menghadapi hewan buas yang tak pernah kutemui, dan tak sengaja membuka tabir rahasia yang selama ini menyiksa. In...