2 Sepotong Roti

142 18 2
                                    

Jam kuliah pertama kedua di hari Rabu adalah yang paling menyebalkan di semester ketiga ini.

Sepagian mahasiswa termasuk Anggun, tidak boleh terlambat semenit pun, bahkan tidak berlaku 5 menit waktu toleransi yang biasanya di jadikan celah oleh para mahasiswa.

Di dalam kelas mereka juga harus benar-benar fokus dan konsentrasi penuh. Bu Kartini tidak akan membiarkan dirimu meleng sedikit pun, bahkan cara duduk pun beliau komentari. Tidak boleh bungkuk, tidak boleh menyangga dagu, apalagi melipat tangan.

"Kalian itu akan menghadapi masyarakat, bagaimana bisa duduk saja lenya-lenye!" Begitulah bunyi omelannya kira-kira ketika salah satu diantara Mahasiswa meleng. Jangan lupa telunjuk yang mengacung dan matanya yang tajam ketika mengomel. Kacamatanya yang bergradasi hitam, entah bagaimana menambah kesan intimidatif. Sudah kaya ibu tiri saja, ah Oma tiri lebih tepatnya.

Bebas dari kelas menegangkan itu, dalam jeda 15 menit, Anggun harus sudah ada di kelas neraka selanjutnya. Pak Abdul memang tidak akan terang-terangan mengomel seperti Bu Kartini. Tapi sekali ketahuan mengobrol, mahasiswa akan di tunjuk lalu beliau berkata,

"Anda keluar. Kalau anda tidak keluar, saya yang keluar."

Yah, kalau tanda tangan absensi digulir pada awal-awal jam pelajaran sih tidak apa-apa. Ini kalau absen itu baru di estafetkan belakangan, wasalam. Bolos lah jatuhnya.

Dan yang lebih horor dari itu semua, begitu striknya definisi mengobrol menurut Pak Abdul. Misalnya mahasiswa cuman sekedar meminjam pulpen atau tip-x, dimata beliau itu mengobrol. Jadi benar-benar harus menahan diri meminimalisir banyak gerakan dan interaksi pokoknya.

Anehnya Pak Abdul masih memaklumi mahasiswa yang tertidur.

Makanya Anggun buru-buru menuju kelas selanjutnya itu dan sampai paling awal. Setidaknya ada 10 menitan yang bisa dia gunakan untuk mengistirahatkan punggung dan ngadem sebelum Pak Abdul datang dan memulai kelas.

Untungnya Anggun orang yang cenderung soliter. Dia tidak punya teman yang perlu saling tunggu untuk berangkat bareng-bareng bergerombol dan itu kadang buang waktu jadinya. Nunggu ke WC dulu lah, jajan dulu lah. Mending waktunya dipakai untuk duduk-duduk di kursi di bawah AC kan. Kebetulan kelas kali ini di gedung baru jadi AC-nya mantep. Tidak meraung-raung seperti AC di bangunan lama.

Dan seperti rejeki di antara kepahitan hari itu. Rama datang sebagai orang kedua. Laki-laki itu menengok ke dalam kelas dan menebar senyumnya yang tentu hanya ditangkap Anggun karena tidak ada lagi orang lain di sana.

"Belum ada yang lain ya?" Tanyanya begitu duduk di bangku baris pertama. Mereka hanya diselangi dua kursi. Sehingga Anggun bisa benar-benar menikmati profil Rama dari samping, tidak hanya punggung lagi.

"Pada beli sarapan dulu kali." Jawab Anggun berusaha cuek.

Biasanya memang begitu. Karena kelas pagi, teman-temannya banyak yang tidak sempat sarapan. Biasnya mereka tertahan di sudut koridor lantai 2, dimana ada jajanan berbagai gorengan, buah pisang, atau air kemasan yang dijual salah seorang petugas kebersihan. Anggun sebenarnya juga belum sarapan. Tapi ia terlalu malas berdesakan. Inginnya hanya duduk selonjoran dan ngadem aja.

Anggun memperhatikan Rama yang mengubek daypack hitamnya. Daypack itu ukurannya cukup besar. Mungkin isinya laptop, atau binder atau buku. Atau batu bata haha. Entah, segala hal dibawa.

Berbanding terbalik, Anggun hari ini hanya membawa tas selempang dari jerami yang isinya bisa ditebak dari luar. Kertas isi binder (kertas kosongnya saja karena terlalu malas untuk membawa semua catatannya), pulpen, dompet, headset, handphone, dan sebuah jedai yang tercantol di bagian tali tas.

Alpha FemaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang