dikotomi
—
"Aku suka kata sempurna
dan selamanya," ujar wa-
nita itu tidak kepada sia
papun. Mungkin pada sa
lah satu bintang di atas
yang barangkali sudah
remuk dalam gravit a si-
nya sendiri atau pada di
ngin malam yang mener
jang tanpa ampun."Seperti oksimoron,"
imbuhnya, tersenyum ti
pis, tipis sekali. "Seperti
dikotomi. Kata yang me
nenteng dua impresi —
yang berlawanan. Terd
engar terberkati dan ter
kutuk. Terdengar surea-
lis dan melankolis. Terd
engar elok dan ... meng
gelikan."Menggelikan. Iya, benar
begitu. Siapa juga yang
mampu menjadi sem -
purna dan berta h an se
lamanya? Dia ter ta wa
yang—oh, siapa o r ang
yang mendeng a r n ya
tidak ikut tertawa, l a lu
mengamati tu buh nya
sendiri yang ter bu jur
kaku, biru, d a n dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang Paling Palung
Poetrypulangnya adalah palung; bagi harap-harap yang menemukan buntu di perantauannya © hidrolisis, 2020