***
Saat aku meminta Wanda membawaku bolos beberapa hari lalu, aku tidak pernah berpikir akan mengunjungi belakang sekolah untuk kedua kalinya. Kupikir saat itu adalah yang pertama dan terakhir kali, sebagaimana aku sudah bersumpah untuk tidak lagi lupa membawa baju olahraga.
Itu hanya tinggal kenangan. Aku akhirnya duduk lagi di salah satu kursi plastik di warung Bang Sunardi dengan sepiring nasi goreng yang sudah tandas beberapa menit lalu. Benar, Adam benar, nasi goreng disini sangat enak. Kupikir mengunjungi warung ini di lain waktu bukanlah ide yang buruk.
Berbeda dari pertama kali aku kemari, sekarang sudah waktu pulang sekolah yang otomatis para pemilik motor di halaman warung juga sudah berkumpul di sini. Beruntung karena aku duduk di pojok warung di dekat jendela, selain aku tidak perlu terkurung dengan para murid-murid dari berbagai kalangan sekolah yang tidak kukenal, aku juga terhindar dari kobaran asap rokok yang bisa menyaingi semprotan pestisida tiap minggu pagi di perumahanku.
Aku mengedarkan pandangan, mencari-cari keberadaan seseorang yang menjadi alasan Wanda menyeretku kemari. Siapa lagi kalau bukan Adam? Selain karena Wanda menarikku seperti kesetanan, aku memang merasa tidak enak karena lupa mengucapkan terima kasih padanya. Tapi sampai detik ini batang hidungnya tidak juga kelihatan.
"Gimana, Gi? Lo ada rencana lain, gak?"
Aku menoleh karena merasa terpanggil, tapi tidak mau lagi langsung menyahut. Setelah salah paham kemarin, aku tidak akan lagi langsung menyahut jika seseorang hanya menyebut "Gi" atau bahkan "Gis". Paling tidak harus nama lengkapku dulu baru aku akan menyahut.
Benar saja, beberapa meja dari tempatku duduk, sekitar 12 murid di depan pintu warung sedang asik membentuk lingkaran dikelilingi kepulan asap, tidak semuanya dari SMA Jenderal, beberapa bahkan tidak menggenakan seragam sekolah. Di antara mereka semua, Yogi sedang duduk di salah satu kursi kayu dengan tangan menggenggam gelas kaca.
"Untuk saat ini gak ada. Gue pengen fokus nungguin Raka nongol, setelah itu baru gue beberin rencananya," ujar Yogi serak. Dari posisiku sekarang, aku bisa lihat beberapa lebam di wajahnya dan seragam putih yang penuh noda kotor. Walau tampangnya babak belur, Yogi keluar sebagai pemenang dari perkelahian tadi. Kabarnya, Raditya bahkan sampai dibawa ke rumah sakit.
"Gue gak yakin Raka mau pasang badan. Dia perlu pancingan kayak waktu kejadian tahun lalu."
"Gue gak akan pakai Riana lagi cuma buat mancing Raka keluar."
"Tapi cuma Riana doang yang—"
"Dan lo lihat kan waktu itu? Kita semua nyaris mati di tangan Raka. Gak, gue gak akan manggil Riana lagi."
Aku mengalihkan pandanganku, selain karena tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, aku bisa melihat Wanda muncul dari pintu warung bersama seseorang di belakangnya. Pembicaraan serius Yogi dan teman-temannya terhenti saat dua orang itu masuk.
"Adam, darimana lo?" aku mendengar suara Yogi terdengar lebih ramah dibanding beberapa detik lalu saat ia berdebat dengan teman-temannya.
"Dari tempatnya Reihan."
Duh, kini aku bisa benar-benar merasakan kehadiran Adam dari suaranya barusan. Aku yang duduk sendiri di sudut sini hanya bisa menggenggam botol tehku erat-erat. Wanda memang tadi menyuruhku tunggu disini selagi dia keluar menemui beberapa temannya dari sekolah lain. Aku tidak tahu kalau dia akan datang bersama Adam.
"Ntar malam lo ikut, 'kan?"
"Iya, ikut kok."
Aku meneguk ludahku dan mencuri pandang kembali ke depan sana. Adam sedang berdiri di tengah lingkaran itu bersama Wanda, ia menjabat tangan semua orang disana. Melihatnya dari sini, aku seketika sadar bahwa Adam memang adalah satu kloningan Yogi. Bedanya, aku tidak pernah membenci Adam dari sudut mana saja ia bersikap atau eksistensinya sekalipun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reply 1995 | seulmin
FanfictionWalau sudah 15 tahun berlalu, Regisa masih sering dihampiri ingatan tentangnya. Terlintas pemikiran itu, seandainya mereka tidak pernah bertemu, apa jadinya Regisa hari ini?