***
to begin, may you play this song while reading the whole part. thx!
https://soundcloud.com/noah_site/ku-katakan-dengan-indah
***
"Dengar, gue hitung sampai sepuluh, lo lompat!"
Aku sebenarnya mendengar titah Wanda dengan tegas, tapi kakiku tidak bisa bergerak. Aku yakin, walaupun ada seratus Wanda berteriak hal yang sama, tetap saja aku hanya akan menatap ngeri pada jarak yang memisahkanku dengan tanah saat ini.
"Satu..."
Aku menggigit bibir. Bagaimana bisa Wanda masih sanggup menghitung pada ketinggian empat meter di atas tanah? Aku tahu dia anak yang nekat dengan intensitas jantung yang mumpuni, tapi kenapa aku jadi ikut bertengger di atas tembok sekolah bersamanya?
Wanda menghitung lagi, "Dua..."
"Gak bisa, gak berani," akhirnya aku mengutarakan isi hatiku padanya. Aku yakin ia kini menatapku garang, sebagaimana aku hanya bisa memelas dan sedikit berharap bisa kembali ke kelas walau berakibat lebih buruk.
"Jangan manja ah, Gi! Udah gak usah bawel, lompat aja kalo gue udah lompat!" desaknya dibarengi pelototan tajam.
Huh. Sial sekali punya teman kejam sepertinya.
Aku akhirnya menguatkan tekad-yang sebenarnya sudah kulakukan sejak setengah jam lalu. Sambil mengeratkan pegangan pada sebuah ruas kayu, aku memperbaiki letak rok lipit selututku dan menemukan noda berwarna hijau basah diujungnya. Aku mendelik, sudah jelas ini jejak lumut yang banyak dibicarakan para berandal yang sering cabut sekolah.
"Kotor banget!" dengusku tidak tahan.
Wanda mendesis. Rambutnya yang lurus sebahu dengan belah tengah itu mengingatkanku pada artis Amerika Jennifer Aniston, aku yakin dia pasti menirunya dari sampul majalah artis Hollywood milik Andrea, kakak perempuannya yang sekarang kerja di kantor percetakan.
"Lo serius gak sih, mau bolosnya?" dumel Wanda tiada henti.
Aku mengerucutkan bibir, bingung juga dengan kepercayaan diriku satu jam lalu yang begitu yakin ingin ikutan Wanda bolos sekolah. Walau aku mengenal Wanda sejak masuk SMP lalu, ini pertama kalinya aku memutuskan untuk ikut dalam rutinitas mingguannya, kalau bukan karena aku yang lupa bawa baju olahraga, tidak mungkin aku akan duduk manis dalam ketakutan di atas sini.
"S-serius kok!" Duh, bibirku memang selalu bertolak belakang dengan rasa takut. "Cuma ini kotor banget, bentar nyucinya ribet."
"Dih, kayak lo yang cuci aja, jelas-jelas ada si Diah! Udah, ah, kelamaan. Lompat sekarang, Gi!"
Wanda benar-benar melompat setelah mengeluarkan titahnya yang secepat angin. Otakku perlu beberapa detik untuk meyakinkan diri bahwa aku tidak salah dengar. Lompat sekarang!
Aku meringis ngeri menatap Wanda yang kini berdiri sempurna di bawah sana dalam kemeja putih berlengan ketat dan rok lipit biru sepanjang lutut, meninggalkanku di atas tembok sekolah dengan pijakan tidak lebih dari 20 senti. Jadi sekarang..., aku harus lompat juga?
"Gi! Buruan!"
Keringatku mengalir dari sudut pelipis, padahal cuaca sedang cenderung sejuk. Sebagian karena takut ketahuan Pak Laskar, guru BK yang bunyi langkah sepatunya pun disegani. Sebagian lainnya karena takut pendaratanku tidak sesempurna Wanda yang bisa saja membuat beberapa tulangku bergeser, kasus terparahnya sih bisa langsung ko'id!
"Buru!"
Boleh tidak jika kulempar Wanda pakai sepatu? Bagaimana bisa dia menekan adrenalinku di bolos perdana? Sial, aku yakin dia bahkan tidak memikirkan tentangku yang memang takut ketinggian. Aku bisa saja memutahkan isi makanan tepat di atas wajahnya, sayangnya aku tidak sekejam dirinya, juga karena tidak ada apapun di perutku yang bisa kukeluarkan saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reply 1995 | seulmin
Fiksi PenggemarWalau sudah 15 tahun berlalu, Regisa masih sering dihampiri ingatan tentangnya. Terlintas pemikiran itu, seandainya mereka tidak pernah bertemu, apa jadinya Regisa hari ini?