***
9 Agustus 1995
"Hah? Maksud lo, Adam itu nembak elo? Adam Angkara? Temennya Ravi si buaya darat?"
Alasan kenapa Wanda ada di daftar teratas sebagai orang yang akan kulindungi juga sejalan dengan kenapa ia menempati daftar teratas sebagai orang yang akan kujejali ke dalam jurang selama tujuh hari tujuh malam—adalah karena mulutnya bisa mengalahkan eksistensi kebun binatang dan hiperbola akut.
Aku menggerutu kecil meliriknya dari balik modul sosiologi yang semestinya dikerjakan sebelum pak Sukarno kembali. "Gak nembak. Dia cuma tanya, gue suka atau nggak."
Wanda mendesis sebal dan meletakkan pulpennya di atas meja. "Duh, lo tuh ya, makanya gue dulu bilang kalau mau pacaran jangan sama yang kayak Guno dan Cahyo! Kolot kan lo jadinya."
Guno dan Cahyo adalah salah dua dari beberapa mantan pacarku sebelumnya. Cukup aneh jika mengingat kenapa aku bisa pacaran dengan mereka. Guno si anak yang selalu kebagian piket jaga di perpustakaan semasa kami SMP, kami bertemu tidak sengaja saat aku harus membayar denda dan banyak ngobrol bareng. Karena Guno juga, dulu aku sering pinjam buku di perpus dan lupa kembalikan, hampir separuh uang jajanku kuhabiskan untuk membayar denda karena Guno adalah tipikal cowok disiplin yang tidak akan memberi kelonggaran bagi siapapun yang melanggar, termasuk pacarnya sendiri. Kami putus setelah satu bulan pacaran karena marahan setelah aku menghilangkan dua buku perpustakaan yang kupinjam.
Cahyo sendiri mantan pacarku yang terakhir saat kelas satu kemarin. Beda, dia berbeda dari Guno si kutu buku bodoh yang tidak tahu indahnya dunia (panggilan Wanda untuknya), Cahyo adalah cowok yang biasa saja dari kelas sebelah. Kami dekat saat pekan olahraga catur wulan dan pacaran setelah dua minggu masa pendekatan. Anehnya, kami berpisah setelah dua bulan karena hubungan kami benar-benar sangat "biasa saja". Wanda bilang, aku bahkan terlihat jauh lebih jomblo dibanding saat aku masih jomblo.
Mendengar dua nama itu disebut oleh Wanda dengan penuh penghinaan, aku mendelik sebal karena sadar trek rekor pacaranku sangat mengenaskan. "Berisik! Nanti ada yang denger, tau."
"Biarin. Emang mantan-mantan lo itu gak ada yang beres. Gimana otak lo juga bisa ikutan beres?" balas Wanda sadis.
Aku mendengus. "Kayak mantan lo pada beres aja."
"Heh, seenggaknya gue langgeng dan hubungan gue jelas."
"Kalo langgeng dan jelas tuh gak mungkin putus."
"Biarin, lagian gue sekarang udah bahagia sama Yogi."
Aku memutar mata malas. Berdebat sama Wanda itu seperti mencari oasis di padang pasir, untung-untungan kalau dapat, kalau nggak ya mesti telan dongkol!
Wanda meletakkan pulpennya di atas meja dan kini menoleh seluruhnya kepadaku. "Terus, pas Adam nanya gitu, lo jawab apa?"
"Gue gak jawab," Aku menggigit pipi bagian dalam. "Gue aja baru ketemu kemarin."
"Gini deh, Gi," Wanda menarik bahuku agar lebih dekat padanya. Rautnya menjadi dua kali lebih serius. "Jujur ya, setahunan gue kenal sama Adam, gue gak tahu apa-apa selain dia itu anak yang tertutup banget. Kalau ngumpul atau jalan bareng yang lain, sih, dia pasti ada dan emang dia asik. Tapi gue cuma tau luarnya aja, gue gak tau dia itu sebenarnya kayak gimana. Dia cuma deket sama Ravi doang, sedangkan Ravi itu orangnya... buaya banget, sumpah deh. Ancur banget tuh orang. Tapi emang belum tentu si Adam juga kayak gitu sih, seingat gue dia anaknya tenang banget."
Aku mencerna baik-baik penuturan Wanda untuk kubandingkan dengan cowok yang mengantarku pulang kemarin itu.
Adam. Cowok itu memiliki pesona yang sangat sulit untuk kutolak, seandainya otakku tidak bekerja kemarin. Aku tidak memberinya jawaban, membuat kami hanya diam sebelum ia memutuskan untuk meminta maaf karena sudah memaksaku mengeluarkan opini. Di atas semua itu, aku tidak bisa untuk tidak memikirkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reply 1995 | seulmin
FanfictionWalau sudah 15 tahun berlalu, Regisa masih sering dihampiri ingatan tentangnya. Terlintas pemikiran itu, seandainya mereka tidak pernah bertemu, apa jadinya Regisa hari ini?