Hinata: Labyrinth

669 81 3
                                    

Aku masih ingat bagaimana bahkan pada pukul dua dini hari, wajahmu masih berseri. Kita bicara tentang banyak hal. Mulai dari cita, citra, hingga cinta. Dengan serentetan mimpi tentang jenjang baru yang akan kita hadapi, aku mendominasi konversasi. Kubilang, aku akan jadi dokter hebat suatu hari nanti, sebagaimana kamu juga akan jadi seorang arsitek yang menginspirasi. Aku ingat juga bagaimana waktu itu kamu tak membalas ujarku. Di seberang meja, kamu hanya tersenyum sembari bertopang dagu dan mengamatiku dengan sepasang jelaga itu.

Diammu tak pernah menggangguku, namun sorot matamu saat itu membuatku merona malu. Kamu memandangku seakan wajahku lebih memesona dari pendar cahaya bulan di luar sana, dan kamu mendengarku seolah suara ini adalah lantunan merdu yang berhasil membuatmu terjaga di tengah sayu. Lalu setelah sedetik berlalu, tiba-tiba tanpa tergugu dan menyergapku, datanglah pernyataan cintamu yang tak seberapa romantis itu.

Terkesiap, tentu itu respon awalku. Namun ketika kamu memandangku dengan dahi yang berkerut juga bibir yang merengut lucu, ekspresiku mengurai senyum. Tak pernah sebelumnya kulihat kamu sekhawatir itu akan jawab yang seharusnya sudah kamu tahu. Maka untuk membuat situasi ini jelas di antara kita, aku mengangguk untuk memberi jawabmu.

Kelip bahagia di matamu, juga bagaimana lengan kokohmu merengkuhku malam itu selanjutnya jadi momen yang tak akan kulupa. Betapa kita hanyalah sepasang remaja, mereguk setetes rasa yang konon katanya adalah cinta. Larut dalam sukacita bahkan ketika realita dalam balut mimpi benar datang menghamba di depan mata. Entah kepolosan atau justru kebodohan di masa muda.

Kamu berada di belahan dunia yang satu untuk menuntut ilmu, sebagaimana aku pun begitu. Mengejar mimpi juga cita yang kita tahu tak pernah mudah jalannya. Dengan keinginan untuk membuktikan diri, kamu terus berpacu. Sementara bersama asa untuk menjadi persona yang lebih baik lagi, aku menyongsong maju. Dalam suara sekali pun raga tak bersua, kita saling menyamangati agar lantas di kemudian hari dapat bersanding dengan percaya diri.

Empat belas ribu tujuh ratus tiga puluh enam kilometer. Jarak yang membentang di antara kita tak pernah jadi masalah. Selama kita menyisihkan waktu di antara layar yang temaram meski kantuk menyerang, mereka tak ubahnya angka-angka usang. Berkeras untuk menang dalam perang yang kamu bilang sudah lama berakhir dengan kita sebagai manusia terakhir yang menghunus pedang.

Saat itu, kukira dengan menjadi yang terakhir menyerang, artinya kita adalah pemenang. Aku keliru. Membaca maksudmu dengan utuh nyatanya adalah hal yang tak aku mampu, dan justru membawa kita ke persimpangan itu.

Sebagaimana tiap-tiap kalimat yang terlontar dari bibirku adalah kenaifan seorang wanita muda, pun juga kalimat yang lolos dalam berat suaramu adalah teka-teki seorang pemuda. Betapa selama ini kita selalu punya visi yang sama, namun kini memilih jalan yang berbeda. Mimpi untuk merajut masa yang akan datang bersama, nyatanya patah di persimpangan tertabrak realita untuk aktualisasi diri yang kau puja.

Subuh itu, atau justru malam di tempatmu, aku ingat kita terjaga bersama menyambut minggu. Desah di ujung suaramu atau juga kantung di bawah matamu tak akan bisa kulupa. Sebab selain kerut di antara kedua alismu, hal itu adalah kombinasi lantang yang menyampaikan padaku bahwa disana kamu tengah meragu.

Firasat bertalu-talu, dan untuk menyangkalnya pun aku tak mampu. Sebab lepas kamu membasahi bibirmu yang kering itu, layar datar di hadapku menampilkan wajahmu yang tersenyum sendu. Senyum itu melekat lebih erat dari cecap permen karet di ujung sepatuku ketika kita bertamasya dahulu, mencipta gelenyar anyar di dasar perutku dan menimbunnya dengan perasaan kelabu.

Lalu datanglah suaramu, "Bagiku kamu adalah labirin yang rumit, dengan sejuta teka-teki di balik binar indah sepasang ametis itu. Intrik yang kamu bangkitkan di dalamku, sekali pun pelik tetapi tak pernah jadi alasanku untuk meragu." Kalimat yang kamu balut dalam suara parau menggantung di udara. "Aku selalu mau berusaha. Namun untuk saat ini, betapa pun aku mencoba menyamakan ritme langkah denganmu, aku hanya akan jadi lelaki yang menyusurimu tanpa peta—tak ubahnya seonggok daging mati di tengah belantara, tak berguna."

Napasku tercekat di ujung tenggorokan. Aku tak tahu apa yang membuatmu menginisiasi percakapan ini, sebab baru lima belas menit sebelumnya kita menertawakan kehidupan yang fana dalam humor kering yang biasa. Kelebat resah yang kutangkap dalam sepasang permata oniksmu kala itu, bahkan tak bisa kutranslasikan ke dalam kata. Ada sesuatu yang berbeda dan tiba-tiba menguar dari personamu, sesuatu yang sarat akan rasa tidak percaya diri juga kegamangan yang hakiki. Hal yang tak pernah kukira bisa berasal darimu.

Aku menggigit bibirku, dengan harapan nyeri yang muncul dari sana akan membangunkanku. Sebab apalah ini semua bila bukan mimpi buruk belaka?—satu yang tercipta lantaran kita terjaga untuk waktu yang lama. Namun sial beribu sial, ini adalah fakta.

Seketika itu juga, air mata terbendung di pelupukku dan laun luruh tanpa suara. Namun kamu, dengan kejamnya tetap meneruskan, "Bisakah kita berhenti disini saja dan bertemu lagi setelah lebih dewasa?"

Aku ingat melihat bibir tipismu bergetar malam itu. Namun isakku sudah menjadi-jadi, dan emosiku meletup di luar kendali. Tanganku yang bergetar dengan segera menyambar layar datar itu dan membantingnya ke sisi ranjang. Sebagaimana panggilan kita berakhir, hubungan kita pun mengalami nasib yang tak beda.

Aku menggelung diri di balik selimut dengan tak berselera. Banjir air mata di pagi itu kontras dengan cerahnya mentari di luar sana. Rasanya seolah dunia sedang tertawa mengolokku, dan aku tidak cukup kuat untuk melawannya. Maka aku melakukan satu-satunya hal yang kubisa kala itu, melarutkan diri dalam kesedihan dengan harapan lelah menyergapku dan membawaku ke alam mimpi saja.

Akan tetapi belum sempat terlelap, ponselku bergetar lebih dulu. Ada namamu yang tertera disana, bersama dua pesan masuk yang belum kubaca. Meski ada secuil harap bahwa kamu mengirimiku permintaan maaf dan berkata bahwa percakapan kita sebelumnya adalah kesalahan belaka, aku tahu betul bahwa itu bukan tipikal dirimu. Maka sembari memberanikan diri untuk membukanya, aku juga berupaya menabahkan hati.

Disana dua baris dari keping kalimatmu tertera saat ketuk jemariku berhasil membukanya,

Aku mencintaimu.

Sampai jumpa, Hinata.

Aku tersenyum, pahit. Apalah arti pesanmu bila kini tak lagi ada kita melainkan hanya aku dan kamu di sudut ruang rindu yang siap melayu? Namun meski begitu, tak kuasa untuk tetap membisu lantaran tak mampu mengetikkan balasan untukmu, aku menggumam sendu, "Sampai jumpa, Sasuke."

.

.

.

(?)

Halo semuanya!

Saya ingin mengakui dosa lebih dahulu, jadi pagi ini tiba-tiba saya berselancar mengarungi samudera masa lalu dan tanpa sadar mulai menulis. Sesungguhnya, tulisan yang saya buat sendiri tidak dimaksudkan untuk menjadi fic melainkan salah satu konten untuk blog (karena yah, sebenarnya isinya curhatan mendayu-dayu saja). Tetapi ketika sudah sampai setengah jalan, rasanya tulisan ini mengundang ketakutan. Sebab setelah dipikir-pikir, bila teman saya membacanya mereka pasti tahu sosok di balik tulisan itu siapa dan dari potongan romansa saya yang mana. Jadi, yah, beginilah pada akhirnya. Ketimbang ketakutan saya menjadi nyata atau tulisan ini berdebu sendirian, saya memutuskan untuk menambah sedikit deskripsi dan menjadikannya fanfiksi saja. Semoga kalian tidak keberatan.

Akhir kata, terima kasih telah menyempatkan membaca. Semoga kalian menikmatinya dan sampai jumpa!

Lots of love,

ez.

Labyrinth [SasuHina]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang