Pulang adalah aksi yang tak pernah kulaku selama bertahun-tahun menuntut ilmu. Sebab tanah rantau agaknya lebih cocok untukku ketimbang empat dinding yang pernah kusebut rumah itu. Dengan populasi yang bahkan tak benar-benar awas akan eksistensiku, aku bisa sepuasnya menempa diri untuk menemukan jati yang kucari. Namun kala itu, lantaran satu dan lain hal, aku kembali ke kota kecil yang mulanya kukira tak bisa menawarkan apa-apa.
Berada disana, aku tentu tahu bahwa masa lalu yang tak pernah sedetik pun kulupa akan tampak nyata di depan mata. Mulai dari bayangmu yang pekat melekat di tiap-tiap sudut kota, hingga usang rajut memori kita yang selalu muncul bak fatamorgana di waktu-waktu yang tak terduga. Akan tetapi sore itu, ketika ada kelebat bayangmu di antara buku-buku, aku tahu dengan pasti bahwa pikiranku tidak sedang menggila dan kamu yang berdiri disitu bukan sebatas realisasi dari mimpiku.
Ada cekat yang bertandang di tenggorokanku, membuat seisi rongga mulutku kering sementara lidahku berubah kelu. Pelarian kecil dari kesibukan di tanah rantau yang kuambil lepas masa studiku usai, tak kusangka justru berubah menjadi momen dimana kotak kenangan ditarik paksa naik ke permukaan. Dan dengan eksistensimu dalam radius yang tak seberapa jauh itu, aku tahu ada pemikiran yang harus kucerna ulang. Sebab fakta bahwa kota itu tak bisa menawarkan apa-apa agaknya salah dalam kalkulasiku. Masih ada hal yang mampu ia tawarkan. Mungkin memang bukan untuk memuaskan ambisiku, tetapi satu yang mampu membebaskan pasung di jiwaku—kamu.
Ah, dan betapa takdir ternyata punya cukup humor untuk mempertemukan kita dan bisa jadi membukakan jalan untukku.
Lepas tahun demi tahun berlalu, kita tak lagi terjebak dalam tubuh sepasang remaja. Kamu yang kini tertangkap oleh netraku sudah jauh lebih matang dari gadis yang terekam di balik tempurung kepalaku. Meski sepasang ametis itu tetap tak berubah, namun postur mungil gadis muda yang kerap kali sembunyi di balik surai indigonya sudah hilang nyaris sempurna. Bertransformasi menjadi wanita dewasa yang bersinar bahkan tanpa harus melakukan apa-apa.
Berjalan dalam langkah-langkah ringan, kamu menyusuri satu demi satu rak buku tanpa sadar akan kehadiranku. Sedang aku, yang masih terhipnotis dengan situasi di antara kita, mengekorimu dalam langkah-langkah kaku. Rasanya seperti menjadi seorang penguntit ulung, menjadi bayanganmu bahkan tanpa kamu tahu. Akan tetapi hancur sudah aksiku ketika kamu menoleh ke belakang dan mata kita bertemu pandang. Imajiku lebur, baur dalam realita yang kucoba cari dalihnya.
Dengan ekspresi lucu yang naik di wajahmu saat menatapku, aku tahu kamu pun sama terkejutnya. Dan meski hal itu mencipta gelombang hangat juga cekat di dada yang lama tak kurasa, aku berusaha mengesampingkannya. Kita memang tak lagi bertemu sebagai dua remaja yang dimabuk cinta, sebab aku bahkan tak yakin kamu masih menyimpan secuil rasa meski itu hanya ada di tepi ruang rindu saja. Namun jika memang harus beralasan supaya bisa menahanmu lebih lama, sebagai dua orang dewasa, kupikir kita bisa saling menyapa.
Mengambil satu langkah mendekat ke arahmu, debar jantungku berpacu dengan membabi buta. Bisingnya bahkan mencipta talu yang terdengar hingga ke telinga. Aku tak tahu apakah kamu merasakan hal yang sama, tetapi ini tak ubahnya dengan malam-malam yang pernah kita habiskan berdua berjalan-jalan di taman kota ketika sedang berbagi romansa. Kenangan manis masa muda agaknya bisa membuatku sakit gula. Tetapi ketika melihat canggung juga rona malu di pipimu, bolehkah kuharap itu pertanda bahwa bukan hanya aku yang bergantung pada masa lalu di sore itu? Entahlah.
Kita berpandangan dalam keheningan. Tak ada kata, meski jelas asa menggantung pekat di udara. Sebagaimana kerinduan itu perlahan memenuhi rongga dadaku, kurasa aman untuk berkata bahwa dalam sorot matamu ada sendu yang tak kunjung layu. Dan di sela pendulum waktu yang laun melaju, entah bagaimana sorot itu menghipnotisku.
Dua patah kata yang terlontar dari bibirku kemudian adalah bukti, bahwa terlena dalam sayu pijar netramu selalu mampu membuat kebodohan menjadi lebih dominan ketimbang rasionalitas yang selalu kujadikan acuan. Betapa dari sekian banyak topik yang bisa kubuka juga basa-basi yang dapat kusuara sebagai sapa, justru malah tanya itu yang meluncur ke udara—"Apa kabar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Labyrinth [SasuHina]
Fanfiction"Bisakah kita berhenti disini saja dan bertemu lagi setelah lebih dewasa?" SasuHina. Twoshoot. 15/01/2021.