Memo

4 1 0
                                    

Tunggu aku di sudut kampus satu
Di bawah teduh pohon jambu
Aku akan bergegas dari kostan menghampirimu
Maaf, sekuntum mawar yang masih bisa kupersembahkan padamu
Bukan, bukan sebagai hadiah atau apresiasi kelulusanmu

Hanya buah tangan dariku biar nggak datang sendirian
Perihal kelulusanmu, tentu aku telah memikirkan apresiasi yang menurutku tepat
Bukan main, aku telah merencanakannya sejak pertama kita menjalin kedekatan
Bagaimana? Sudah merasa terharu?
Hehe

Kebanggaanku, bagaimanapun juga kau telah berjerih payah menyelesaikan studi
Berpeluh mengerjakan skripsi
Menjadi suatu kebahagiaan bagiku dapat membersamaimu menjalani semua itu
Kagum, sudah jangan ditanya lagi..
Pertandingan kesayangan sekaliber Juve pun rela kulewatkan demi menyeimbangimu

Akan tetapi, ku merasa dirimu di luar garis edarku
Semakin kuraih semakin menjauh pula bayanganmu
Tentu bukan karena minder ataupun berkecil hati karena bersamamu
Tapi lebih kepada sadar diriku yang menghendaki demikian

Kini kau aku beri pilihan,
Untuk terbang bebas bersama mimpi-mimpimu meninggalkan segala kenangan kita
Atau tetap tinggal dengan memberiku sedikit kesabaran untuk mewujudkan mimpi kita bersama
Ah, jangan khawatir.. perihal tekad, kurasa kau bisa menilainya sendiri

Sudah, ini saja yang aku katakan. Maaf telah menyulitkanmu untuk membuat keputusan, tepat di hari bahagiamu pula.

Peluk cium,

Kangmasmu

Sebuah pesan tertempel di dalam keranjang sepeda hijau tosca kesayanganku. Selembar memo itu melilit setangkai mawar merah yang terlihat masih segar. Pertanda baru saja diletakkan oleh si empunya ke dalam keranjang sepedaku. Kuperhatikan sekeliling. Di bawah terik matahari kala itu para mahasiswa berlalu lalang, riuh redam merayakan kelulusan studi mereka. Ada yang berswafoto bersama rekan sefakultas, bersama sanak keluarga, bahkan beberapa juga dengan pasangannya. Terlihat bahagia sekali bukan?

Aku kembali fokus mencari setitik bayangan. Kubenarkan letak kacamata minusku, berharap bisa lebih fokus. Di bawah silau cahaya mentari kutemukan sesosok lelaki di bawah pohon jambu. Ia duduk di bangku dan tersenyum saaaaangat manis kepadaku. Tangannya melambai ke arahku.

"Sini", lamat-lamat kudengar panggilnya.

Aku pun menghampirinya dengan senyuman yang kuharap seribu kali lebih manis dari miliknya. Tapi gagal. Senyumnya selalu dapat mengalihkan fokusku, menggetarkan hatiku dan mengaguminya selalu.

Aku duduk di sampingnya, menatapnya penuh haru dan bahagia. Ingin sekali menghambur ke pelukannya, namun kuurungkan niatku. Sebelumnya kami telah sepakat bahwa tak ada kontak fisik yang berlebihan dalam hubungan kami, kecuali sebatas berpegangan tangan atau mengusap kepalaku. Biarlah dikata norak. Komitmen yang telah kami bangun bersama tersebut merupakan salah satu bentuk penghargaan kami satu sama lain.

"Selamat ya," sembari tangannya diulurkan kepadaku.

Segera kujabat tangannya dan berkata, "Terima kasih"

Setelah itu hening kembali menelusup. Seolah waktu menjadi beku. Pohon jambu pun enggan menggugurkan daunnya agar tak mengusik keheningan kami. Namun begitu, diam-diam aku mencuri pandang kepadanya. Wajahnya berseri, senyum tak pernah sirna dari bibirnya. Seolah menyiratkan perasaan bangga dan bahagia. Tapi, ketika kulirik sorot pandangnya terlihat ada yang berbeda di sana. Kuperhatikan lekat-lekat, ya, memang ada yang berbeda. Terdapat sedikit keraguan, kegelisahan, entah apa aku tak bisa membacanya.

Kuikuti arah pandangnya yang menerawang jauh ke arah hilir mudik para civitas akademik di depan gedung pertemuan kampus. Sepertinya bukan itu yang menjadi fokusnya. Ada sebuah kejanggalan yang berusaha ia sembunyikan dari balik raut wajahnya yang selalu tersenyum.

ArunikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang