Bukankah itu yang kamu mau?
Menciptakan jarak dengan apik hingga kita tak perlu bertegur sapa.
***Darla menidurkan wajah menghadap jendela. Suasana koridor cukup ramai karena bel istirahat sebentar lagi habis. Pikirannya menerawang pada kejadian kemarin. Setelah pembicaraan malam itu di ruang makan, Genta berubah.
Seharusnya ia senang karena cowok itu mengikuti keinginannya. Mengabaikan kehadiran Darla. Saat mereka berpapasan di ruang keluarga, juga saat ikut sarapan bersama orang tuanya, Genta tampak biasa, berbicara dengan orang-orang, terkecuali dirinya. Genta bersikap tak acuh bahkan tidak memandangnya sama sekali. Kalau boleh jujur, Darla menyesali ucapannya, tapi memang itu yang harus ia lakukan. Tak ada pilihan lain meski hatinya menjerit tak rela. Mulai saat ini ia harus terbiasa diabaikan oleh pujaan hatinya.
Mata Darla melebar melihat siapa yang berjalan melewati kelasnya. Hingga kemudian teriakan menggoda salah satu teman sekelasnya pada Genna diikuti yang lain membuatnya mendengkus kecil. Darla menelungkupkan wajahnya seketika.
"Cieee Genna disamperin pacar!"
"Uhuy! Cepet samperin, Na. Keburu diembat sama yang ono noh!"
"Emang dilihat dari segi mana pun lo lebih unggul sih."
Oke, selama beberapa hari ini Darla cukup tahan dengan sindiran teman-temannya, tapi mendengar kalimat merendahkan tadi, tangannya terkepal seketika. Apa sebegitu tak pantasnya ia untuk Genta?
Usapan di kepala membuat mata Darla memanas. Salah apa dirinya sampai diberi cobaan seperti ini?"Gak usah dengerin perkataan sampah mereka," ucap Hesta yang duduk menghadapnya. Kebetulan Nilam tidak masuk sekolah karena mamanya masuk rumah sakit. Beruntung dirinya masih memiliki Hesta.
"Gue capek, Hes." Darla berkata lirih, "Padahal selama ini gue gak pernah ngusik mereka."
Terdengar hembusan nafas dari cowok itu. "Tidur, La. Nanti gue bangunin kalau Bu Rima dateng."
Darla mengangguk, berusaha memejamkan mata. Elusan di kepala membuatnya perlahan terlelap. Mungkin dirinya terlalu lelah menghadapi kejadian beberapa hari ini. Tidak di kelas atau koridor, ia merasa terus diperhatikan.
Dua puluh menit kemudian Bu Rima baru memasuki kelas. Darla segera terbangun saat Hesta mengguncang bahunya. Ia sempat kaget melihat seseorang yang menduduki bangku Nilam. Namun, yang ditatap malah tak acuh, fokus menyiapkan buku paketnya.
"Semangat belajarnya Giyas sayang."
Darla mendelik pada sahabatnya. Sedangkan Giyas malah meringis malu. "Udah perhatiin ke depan!"
Hesta mengangguk, beralih meliriknya sekilas dan berkata, "Titip dia ya."
"Hm." Dehem cewek itu membuat Darla merasa tidak nyaman. Seharusnya Hesta tidak perlu melakukan hal yang membuat pacarnya terpaksa.
"Jangan ngelamun, perhatiin ke depan," ucapan Giyas membuatnya tersentak. Cewek nomor satu itu membuka buku paket miliknya yang masih tertutup di atas meja. "Gak usah dipikirin. Lo hidup bukan cuma buat dengerin ucapan orang."
Tertegun, Darla menatap cewek di sebelahnya yang kini kembali fokus mendengarkan penjelasan sang guru. Kemudian pandangannya teralih pada cewek di seberang tempat duduknya. Ada Vera yang kedapatan sedang memperhatikannya. Cewek itu tumben hari ini tidak ikut menyudutkannya seperti yang sudah-sudah.
Tidak tahu apa penyebabnya. Entah karena mendengar perseteruannya dengan Genta kemarin lusa atau mungkin teman sekelasnya itu sudah bertaubat dari melukai perasaan orang lain. Ia tidak mau peduli.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh Darl ✔️
Dla nastolatkówBagi Darla, menyukai Genta seperti mengagumi keindahan bintang di angkasa. Terasa dekat di hati, tetapi begitu jauh ketika ia menengadah ke langit. Cewek itu kira, bertahan dalam diam adalah pilihan terbaik. Darla hanya perlu menerima setiap perhat...