Ketidakberdayaan ini menyiksaku, sebab aku juga ingin berada di sana ketika dirimu membutuhkanku.
-Jimin, Agustus 2016
"Aku gak napsu makan.. tenggorokan aku sakit banget."
Jimin mendesah putus asa mendengar suara Jungkook yang parau lewat sambungan telponnya. Beberapa hari kemarin Jimin sudah mendengar kabar Jungkook yang katanya sedang tidak enak badan. Tetapi Jungkook masih sanggup mengikuti rutinitas seperti biasa. Namun hari ini, kapasitas tubuh Jungkook sudah melewati batas hingga membuatnya harus absen dua kali dan terbaring di rumah sepanjang hari.
"Tapi kamu harus tetep makan dong?" Bujuk Jimin. "Kalo gak makan, gimana minum obatnya? Kalo gak minum obat, terus kamu kapan sembuhnya?" tegas Jimin kali ini.
Dengar suara napas Jungkook saja Jimin sudah khawatir luar biasa, apalagi kalau melihat langsung wajahnya. Jungkook masih sempat merasa lega sebab Jimin berada sangat jauh sekarang.
"Dibawa tidur juga nanti ilang.." elak Jungkook. "Kamu lagi apa di sana?"
Jimin berdecak galak, kentara sekali dirinya marah dan gelisah. "Gak usah ngalihin pembicaraan!" sergahnya. "Kamu makan sekarang, terus minum obat. Istirahat yang banyak biar cepet sehat. Kamu udah kelas 12 loh, Kook. Satu hari gak masuk tuh bisa ketinggalan banyak materi pelajaran! Katanya mau nyusul aku tahun depan? Kamu udah janji 'kan, mau rayain Valentine bareng aku biar aku gak sendirian??"
Suara kekeh Jungkook terdengar lemah. Meski begitu Jimin sedikit lega sebab Jungkook masih sanggup tertawa. "Iya, sayang.. Ini aku paksain makan sekarang.."
"Yang banyak!" Tuntut Jimin lebih galak.
"Iya.."
Beberapa saat Jimin sempat diam membuat Jungkook bertanya-tanya apa yang sedang terjadi di sana. Detik selanjutnya sambungan telpon itu dipenuhi isak rendah.
"Kamu kenapa?" tanya Jungkook kini balik mengkhawatirkan Jimin.
"Aku.. aku harusnya ada di sana temenin kamu.. bantu rawat kamu.. bukannya duduk aja di sini gak ngelakuin apa-apa.."
"Jimin.. aku gapapa, Sayang.."
"Padahal salah aku yang udah bikin kamu sakit begini.."
"Enggak, bukan salah kamu kok. Akunya aja yang gak bisa jaga kesehatan diri sendiri.."
Jimin terisak lagi. Rindunya sudah cukup menyiksa diri. Ditambah lagi dengan Jungkook sakit begini, membuat Jimin semakin tidak enak hati.
"Aku gapapa, Sayang.. Iya aku makan sekarang nih yaa.. besok pagi aku janji pasti langsung sembuh kok.. Gak lama lagi, aku udah bisa nyusul kamu.."
Mulut Jimin masih terkunci tidak beniat untuk menanggapi, meski sudah mendengar Jungkook kembali mengucap janji. Rasanya benci tidak mampu mengendalikan diri. Tapi mau bagaimana lagi? Rasa bersalah sudah terlanjur menyelimuti.
***
Berat bagiku merindukanmu, terlebih ketika langitku berubah kelabu tapi dirimu tidak ada di sisiku.
-Jimin, Januari 2017
Nyatanya hubungan manis yang Jungkook usahakan tidak mampu bertahan lebih lama. Perbedaan waktu dan jarak benar-benar membuat mereka kesulitan membangun pengertian di dalam hubungan. Kerinduan yang dirasakan perlahan berubah menjadi kebencian yang tidak beralasan. Ketika mereka kehabisan kenangan untuk dibagikan, alasan 'tidak apa-apa' dan kata 'baik-baik saja' menjadi senjata untuk membungkam mulut yang disayang agar diam. Membuat segala macam bentuk kebohongan berubah menjadi norma kebiasaan. Setidaknya, itulah yang Jimin rasakan sekarang. Di tengah jalannya hubungan mereka, sebuah perubahan perasaan yang kejam, yang tidak mampu Jungkook hindarkan, hadir mengguncang hati mereka.
"Aku kayaknya gak bisa nyusul kamu tahun ini." ungkap Jungkook lewat telponnya malam ini. Dia bilang, dia baru saja berdiskusi mengenai rencananya mengikuti program studi lanjutan ke London dengan keluarganya tadi.
"Terus?" tanya Jimin menanggapi.
Hening sejenak, Jimin menunggu Jungkook memberikan penjelasan lebih banyak. "Mungkin aku harus nunda satu tahun." Tutur Jungkok. "Kumpulin uang dulu baru bisa nyusul kamu. Masalahnya program beasiswa itu 'kan gak termasuk biaya hidup selama aku di sana. Itu yang jadi bahan pertimbangan keluarga aku kalo aku harus pergi tahun ini, Jimin."
Kali ini Jimin diam merenungi maksud ucapan sang kekasih.
"Kamu dengerin aku 'kan?" tanya Jungkook balik, memastikan sambungan telponnya tidak mati.
Jimin menjawab seadanya. "Iya aku denger."
Di kejauhan, Jungkook menggigit bibir bawahnya menahan rasa sesal yang perlahan menggerogoti tiba-tiba. "Jadi gimana? Kamu mau.. tunggu aku lagi sebentar?"
Jimin hanya mampu menjawab Jungkook dengan gumaman. Jimin tidak tahu, Jungkook merasa waktu di sekitarnya seolah berhenti sejenak. Turut sulit bergerak terpengaruh dengan rasa bersalah di hatinya yang meruak.
Di sisi lain, Jungkook juga sama tidak tahunya bahwa Jimin kini tengah menarik rambutnya putus asa. Menahan sesak di dada yang sudah lama dia simpan diam-diam. "Menurut kamu kita bisa bertahan sampe kapan?" tanyanya langsung tembak.
Seolah dihamtam truk besar penuh muatan, jantung Jungkook berdetak melamban mendengarkan pertanyaan Jimin barusan. "Maksud kamu apa?" tanyanya pelan-pelan.
Pandangan Jimin mulai kabur melebur dengan air mata yang menggenang. "Aku udah gak bisa bertahan, Jungkook.." ungkap Jimin mengakui gelisah hatinya. "Ini terlalu berat buat aku.."
Jungkook berusaha mengindahkan emosinya saat ini. Mengesampingkan efek samping dari kalimat Jimin yang perlahan sedikit menyakiti hati. "Jimin.." ucap Jungkook ikut lirih.
"Aku mohon kita sampe sini aja.." tegas Jimin kali ini.
Di tempatnya, Jungkook mengepalkan tangan dan merapatkannya ke wajah. Memberinya pukulan pelan berharap pukulan itu mampu membantu kepalanya untuk berpikir sekarang. "Kasih aku waktu satu tahun. Gak lebih dari itu-"
"Jungkook.. aku gak bisa.." sela Jimin sarat akan permohonan. "Berat buat aku nungguin kamu.. karena yang kita pertahankan bukan hubungan, tapi rasa gak enak hati.. Kita sekedar bertahan untuk saling menghargai usaha masing-masing. Aku cuma mau ngelepasin kamu, sebelum kita berdua berontak dan jadi saling benci.."
"Aku gak mungkin benci sama kamu.."
"Belum." Sergah Jimin lagi. "Seiring berjalannya waktu kamu akan benci aku karena kamu merasa terbebani sama janji yang kamu buat sendiri. Dan aku juga akan benci kamu karena gak bisa nepatin janji itu nanti."
"Sedikit lagi, Jimin.." mohon Jungkook.
Jimin pun turut balik memohon. "Aku gak bisa.. bertahan sama kamu bikin hati aku sakit. Ada rasa bersalah yang gak bisa aku tebus liat kamu usaha sendiri demi aku sementara aku gak bisa bantu kamu.."
Suara Jungkook semakin terdengar kecewa. Nada bicaranya sudah tidak bisa terlepas dari rasa putus asa. "Terus kamu gak ngerasa bersalah minta pisah dari aku kayak gini?"
"Setidaknya rasa bersalah ini akan jadi yang terakhir. Mulai sekarang kita ambil aja jalan masing-masing.."
Setelah itu Jimin menutup sambungan telpon dari Jungkook sambil memeluk pedih. Tinggal beberapa hari lagi Januari berakhir. Jimin tidak ingin menghadapi Februari yang tinggal sebentar lagi. Kini, bayang-bayang merayakan Valentine bersama Jungkook tinggalah mimpi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Valentine You
Fiksi PenggemarKepergian Jimin untuk melanjutkan studinya di London membuat Jungkook tersadar akan perasaannya yang datang sangat terlambat. Di detik-detik terakhir Jimin meninggalkannya, Jungkook baru merasakan bahwa hatinya selama ini juga turut mendamba sang pu...