Benim adim Şuhan, Şuhan Zaynep Abdullah (namaku Syuhan, Syuhan Zaynep Abdullah). Hanya dengan mendengar namaku, mungkin kalian akan berpikir aku adalah gadis baik-baik dari keluarga baik-baik. Dan mungkin, kalian mengira aku adalah gadis dengan hijab lebar yang membentang jatuh menutupi tubuhku, namun harus aku katakan semua itu tidaklah benar.
Aku adalah gadis piatu yang sejak kecil tidak pernah mengenal sebuah kata ibu. Bukan karena ibuku telah meninggal dunia, tapi karena memang ia lebih memilih meninggalkan aku dan melarikan diri kenegara asalnya, Turki. Sementara ayahku, Babam (Ayah dalam bahasa Turki) dia begitu sibuk dengan bisnisnya hingga aku berpikir, apakah aku masih memiliki ayah. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali kami sarapan di meja yang sama, dan malam pun begitu. Dan mungkin memang ia tak pernah pulang atau sekedar beristirahat di kasurnya, karena memang aku tak pernah melihatnya untuk waktu yang lama. Sekedar menanyakan kabarku melalui telpon pun tidak, semuanya hanya diwakili oleh asistennya.
Aku bingung kenapa aku harus tinggal dirumah sebesar ini, jika hanya ada aku, bibi Ina dan pak Somat yang menempati. Bukankah rumah dengan tiga tingkat ini terlalu besar untuk kami bertiga, bahkan halamannya terlalu luas untuk aku kelilingi setiap hari. Memang tak aku pungkiri banyak maid yang akan datang setiap paginya untuk bersih-bersih termasuk satpam, tapi tetap saja setelah malam menjelang hanya ada kami bertiga dan baiklah mungkin satpam termasuk kategori menjadi empat.
Kesunyian dalam hidupku, kurangnya perhatian dari orang tuaku, kenyataan kalau ibuku pergi meninggalkan aku, membuatku merasa seperti seseorang yang tidak pernah diinginkan kehadirannya. Aku lelah untuk diam, aku lelah untuk menerima, aku lelah jika harus diabaikan seperti ini. Jika memang kehadiranku tidak diinginkan kenapa aku dilahirkan? Kenapa aku harus hidup? Tidak kah dunia ini terlalu tidak adil padaku?
Duniaku amatlah gelap, begitu gelap hingga aku berpikir aku tidak hidup di dunia ini melainkan neraka, yang setiap harinya mencekikku hingga aku tak mampu bernafas. Duniaku amatlah sunyi, hingga tak satu pun gelombang bunyinya mampu membangunkan aku dari kesakitan ini. Duniaku begitu sepi, hingga tak satu pun bahu bersedia untuk aku sandari.
“KAU MENANG! AKU KALAH! aku kalah, aku kalah, aku kalah. Jika duniaku adalah neraka bagiku, untuk apa lagi aku hidup. Aku menyerah, APA KAU MENDENGARNYA AKU MENYERAH!” Aku tidak tahu harus marah pada siapa, pada ibuku yang rela meninggalkan aku, atau pada ayahku yang tak pernah peduli padaku, atau pada takdirku yang begitu buruk. Aku benar-benar tidak tahu, aku hanya bisa berteriak mengadah langit, mencoba membulatkan tekad ku bahwa pilihanku kali ini adalah yang terbaik.
Aku ambil langkah menaiki pagar pembatas jalan, tepat dibawah ku gelombang air laut begitu besar menghantam tebing. Dapat ku lihat gelapnya air laut itu menandakan begitu dalamnya hingga dasarnya pun tak akan terlihat. Akan lebih baik jika semua ini berakhir hari ini, hilangnya satu orang yang tak terlihat dikeluarganya sendiri bagaimana mungkin akan terlihat di dunia. Tentu saja saat aku telah tiada nanti tak akan ada yang menyadari kepergian ku, aku hanya akan hilang seperti bui layaknya legenda putri duyung.
“Hos cakal! Babam! Annem! Ben cok sizleri seviyorum.” (selamat tinggal! Ayah! Ibu! Aku sangat mencintai kalian)
*****
Namaku Fatih, Fatih Zayhan Nugroho. Aku adalah anak sulung dari keluargaku, aku memiliki saudari kembar, Dina dan Dini. Jangan heran di usiaku menginjak delapan belas tahun ini, aku baru memiliki adik yang masih berusia enam tahun. Sebab saat aku kecil oran g tuaku sempat berpisah, dan kembali rujuk saat aku berumur sebelas tahun. Ayahku adalah seseorang yang sibuk, jarang sekali mempunyai waktu untuk kami keluarganya. Hal itulah yang membuat ibuku marah dan menceraikannya, tapi syukurnya sekarang ayah telah berubah.Semenjak si kembar lahir, ayah mulai berubah. Ayah mulai menyediakan waktu untuk kami, keluarganya. Bahkan tak jarang ayah membatalkan perjalanan bisnisnya untuk bisa berkumpul bersama kami. Namun ada satu hal yang sampai saat ini mengusik pikiranku, ayah tak pernah menceritakan tentang sanak saudaranya pada kami. Bahkan tak satu pun dari kerabat ayah yang aku ketahui. Ayah tak pernah cerita, dan ibu pun hanya diam jika aku tanyai. Dan pada akhirnya aku hanya bisa menebak-nebak mungkin sesuatu telah mereka sembunyikan dan sesuatu itu juga bisa menjadi alasan dulu mereka berpisah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Benim Dünya / Duniaku
AléatoireDuniaku amatlah gelap, begitu gelap hingga aku berpikir aku tidak hidup di dunia ini melainkan neraka. yang setiap harinya mencekikku, hingga aku tak mampu bernafas. Duniaku amatlah sunyi, hingga tak satupun gelombang bunyinya mampu membangunkan aku...