Bab 2

18 11 0
                                    

Ku lajukan mobilku dengan santai. Adikku Al asik mendengarkan musil lewat i-phod nya. Jalanan begitu ramai hari itu.

Di situasi lain, kulihat anak-anak kecil membuat kemacetan di jalan dengan meminta-minta. Seorang anak kecil dengan wajah polosnya menengadahkan tangan tanda meminta.

"Om, uangnya om. Sedekah. Insya Allah om nanti hidupnya berkah", celetuk anak itu dengan wajah memelas.

Kuambil uang logam di laci mobil ku. Tak tega diriku melihat anak kecil melakukan hal demikia hina nya.

"Ini nak..Doain yaah, biar Om selalu di kenal sama orang-orang banyak di seluruh dunia". Anak itu hanya pergi tanpa ada rasa terima kasih. "Dasar tak tahu diri. Sudah dikasih malah pergi". Batinku dalam hati.

"Kak, kita ke rumah Bu Ningsih yuk. Bagaimana pun dia kan pernah merawat Kakak", bujuk Al kepada ku.

"Ok deh. Iyaa...kamu benar adikku. Kita bawa apa ini kesana? Kalau buah-buahan segar bagaimana?"

"Setuju kak."

Sesampai di depan rumahnya, aku dan adikku menyapa pak Baron. Mereka terlihat senang dengan kedatanganku dan Al.

Di samping kebahagiaan Pak Baron tersimpan kesedihan. Aku pun bertanya kepada Bapak. Sebenarnya ada masalah apa. Apa yang membuat Bapak sedih.

"Nak, ibu kamu sudah pergi entah kemana. Saat ia menyesal sudah menyakiti kamu. Ayah tidak memaksa kamu mau mencari ibu kamu. Ayah tahu, sekarang kamu sudah jadi orang sukses. Ayah minta cukup doakan saja. Mudah-mudahan ibu kamu tidak apa-apa dan selamat", pinta nya sambil meneteskan air mata di hadapan kaki ku.

"Bangun Ayah. Ayah tak perlu seperti ini. Baik yah, kalau itu permintaan Ayah. Riski dan Al akan terus berdoa mudah-mudahan ibu dapat kembali lagi kesini".

Kudengar suara tangisan bayi. Lalu aku berfikir bahwa Lili, sudah memiliki anak.

"Yah, itu bayinya Lili ya?". Ayah pun menjawab dengan menangis bahagia.

"Iya, itu anaknya Lili. Dia melahirkan anak pertamanya kemarin pagi. Alhamdulillah laki-laki."

"Alhamdulillah. Ayah, boleh panggil Lili kesini?". Tak kusangka ternyata Lili sedang menuruni tangga dan melihat kehadiranku di rumah ayahnya.

"Kak Riski?". Netranya hendak mengeluarkan air mata ketika melihat aku dan juga Al.

"Kak,, ini anakku. Alhamdulillah aku sudah punya anak dan menikah. Suamiku ada di belakang membersihkan popok bayi Desta, anakku. Maaf kak. Aku tak memberi kabar kalau aku sudah menikah tahun lalu."

"Tak perlu minta maaf. Kakak mengerti kenapa semua ini kamu lakukan. Yang penting kamu sudah bahagia dengan pasangan kamu. Ciiie...akhirnya menikah juga. Kamu tomboy nya sudah hilang?", candaku ke Lili.

"Ihhh..Kakak.. Jangan ngomong gitu donk. Kan aku malu sama Al." Pipinya pun memerah akibat malu. Kalau dilihat-lihat memang sungguh cantik ketika itu.

"Gak perlu malu atuh Li. Aku dulu juga sama seperti kamu. Sedikit tomboy. Tapi abang ku ini memang sukanya bisa meluluhkan hati perempuan. Jadi, aku berubah seperti ini."

"Li, boleh aku gendong anakmu ini?", pintaku kepada Lili. Lili akhirnya memberikan bayinya dan menaruhnya di dadaku.

Terdengar suara klakson mobil di depan teras rumah Pak Baron. Ternyata itu adalah Mukhammad aryanda, laki-laki yang tampan dan aku kagumi karena dia menjadi penulis novel terkenal. Dia sebenarnya anak asli dari Pak Baron dan Bu Ningsih.

"Assalamualaikum", sapanya saat masuk rumah

"Waalaikum salam Nak", jawab Pak Baron dengan senyuman

Alter Ego WriterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang