Bab 11

11 0 0
                                    

Dengan kerja kerasku selama di perguruan tinggi, akhirnya diriku memutuskan untuk menjadi seorang penulis.

Hari itu adalah hari bahagia. Aku di wisuda di hadapan Dekan Jurusan Bahasa. Kawan-kawanku juga mengucapkan selamat kepadaku atas prestasi yang diraih selama aku di dunia akademisi.

"Selamat ya nak, kamu akhirnya bisa wisuda", ucap Ibuku Ningsih dengan terharu

" Terima kasih juga Bu, sudah selalu memberi dorongan semangat kepadaku". Akupun ikut menangis bahagia melihatnya menangis

"Ayah juga bangga, Selamat nak", ujar Pak Baron, ayahku

"Terima kasih semua. Ayok kita foto bareng di depan kampus", pintaku kepada orang tuaku.

Acara wisuda telah usai. Aku berniat menjadi penulis setelah lulus. Aku memberanikan diri berkata kepada Ayah dan Ibu tentang rencanaku ini.

"Bu, Yah, aku mau jadi penulis. Tolong berikan dorongan juga kepadaku agar bisa menjadi seorang penulis. Masalah kerja di kantor Ayah, kapan-kapan saja setelah menjadi penulis", pintaku kepada mereka dengan sedikit merinding

"Kamu kerja apa terserah, yang penting kalau menurut Ayah tidak usah jadi penulis. Setelah kamu cari kerja dan di terima akhirnya dapat uang banyak, silahkan kamu jadi penulis", ucap Ayah dengan nada sewot

"Tapi yah, kan kelebihanku dalam hal tulis menulis yah. Ayah tolong izinkan aku jadi seorang penulis", jawabku dengan nada sedikit emosi

"Tidak bisa. Kamu harus kerja dulu. Penulis itu gak bisa menghasilkan apa-apa. Masa kamu gak malu sama Lili. Dia udah kerja, bisa beli ini beli itu. Kamu harusnya kerja dulu. Bukan menjadi penulis", bentaknya kepadaku dengan mata sedikit melotot seperti hampir copot.

Mendengar omelan Ayah membuatku ingin sekali menusuk perut Ayah dengan sebuah garpu yang masih kupegang.

"Mas...kan memang kelebihan dia dalam hal menulis. Izinkanlah mas. Masa kita perlu materi dan materi lagi. Uang bagi mas itu kok sangat penting sekali. Kalau rezekinya Riski dalam hal menulis dukunglah", ujarnya dengan nada sedikit menenangkan

"Atau gini saja. Kamu agamanya juga pandai. Kamu juga pandai dalam mengaji. Manfaatkan ilmu kamu itu untuk jadi pengajar di pondok pesantren. Masalah bayaran, ayah tak masalah. Yang terpenting adalah kamu harus mengajar dan mengajar. Sayang sekali kalau lulusan Sarjana S1 menjadi penulis titik". Akhirnya akupun sewot dengan ucapannya titik seperti ada qaf menjadi TITIQ.

Dengan tak perdulikan omongan ayahnya ketika sedang santap malam, Riski di malam yang gelap membuat sebuah cerita di wattpadnya. Ia berencana merampungkan karyanya yang berjudul "My Story Black n White".

Beberapa bulan ke depan, ia akhirnya berhasil merampungkan karya dan pergi ke Semarang untuk bertemu salah satu CEO Penerbit buku terkenal.

"Rosi...Kamu besok bisa menamaniku ke Surabaya? Aku akan bertemu dengan salah satu penerbit disana", pintanya dengan harap

"Ok aku bisa". Akhirnya aku dan dia pergi ke Surabaya menggunakan kereta api.

Aku saat itu memang bohong kepada Ayah dan Ibu kalau aku pergi ke Surabaya karena ada teman kuliahku yang ibunya meninggal. Padahal aku ke Surabaya tidak lain adalah menemui penerbit yang akan menerbitkan karyaku.

"Aku harus pergi ke Surabaya untuk menemui Pak Samsul", monologku ketika berada di dalam kereta dan mencari tempat duduknya.

Setelah selesai mencari akhirnya
diriku berada di sebelah ibu-ibu.

"Permisi ya Bu", ujarku kepadanya dengan membungkukan badan

"Ya nak, silahkan".

Selama perjalanan Ibu tersebut memandangku seakan-akan mengenal diriku. Sekilas entah kenapa aku juga tak asing nampak Ibu tersebut. Hingga akhirnya beliau memecah keheningan

"Kamu mau pergi kemana Nak..kok sendirian. Sudah izin orang tua kamu belum", tanyanya hingga membuatku kaget

"Saya mau ke Surabaya bu. Ibu sendiri?. Alhamdulillah saya sudah izin ke orang tua.

"Ibu juga sama. Ibu kesana memang rumahnya Ibu di Surabaya. Kamu ada keperluan apa ke Surabaya?", tanyanya dengan bingung.

"Saya mau bertemu dengan salah satu CEO penerbit buku terkenal.

"Kamu memiliki bakat menulis?. Luar biasa sekali Nak. Mudah-mudahan bisa menjadi penulis yang profesional ya. Aamiin". Akupun ikut mengaminkan doanya.

"Kenapa aku tak asing yah, lihat pemuda ini. Kayak pernah bertemu sebenarnya. Ada rasa yang buat aku yakin bahwa aku pernah bertemu dengan dia", gumamnya dalam hati.

Aku merasakan kebatinan yang cukup dalam pada Ibu itu. Apakah dia Ibuku? Aku berharap memiliki Ibu seperti dia.

Bagaimana Pak mengenai karya saya ini. Apakah Bapak bersedia menerbitkan karya saya ini", tanyaku dengan sedikit gugup.

"Dialog tag dan aksi harus di perbaiki lagi yah. Saya masih belum menerima karya dari kamu. Perhatikan tanda bacaan yang tepat dalam sebuah cerita. Masih ada kata-kata yang tidak baku. Alur kamu kalau yang saya lihay tidak konsisten. Begitu pula sudut pandang. Kamu belajar lagi tentang kata-kata yang benar sesuai EYD dan PUEBI dengan KBBI. Intinya banyak yang harus di revisi", jawabnya dengan cukup tegas dan lebar.

Akupun pulang menggunakan kereta yang sama. Entah kenapa aku terpikirkan Ibu tadi. Dia terkejut ketika aku menjawab bahwa namaku Riski. Aku memang tak mudah mengatakan orang yang belum aku kenal dengan jujur. Aku takut, nantinya akan digunakan yang tidak baik.

Sesampai di rumah tengah malam, aku dibukakan pintu oleh Ibuku. Dia menyuruhku langsung untuk mencuci tangan dan kaki lalu bicara sekejap denganya sesaat.

Sungguh aku bosan. Sedang capek-capeknya aku malah disuruh untuk ngobrol.

"Kamu sebenarnya dari mana saja. Kenapa baru pulang. Katanya pulangnya besok", tanyanya dengan berbisik karena takut Ayah terbangun dari tidurnya.

Sungguh bosan diriku kepada Ibuku sendiri. Aku memang anak tunggal. Tapi Ibuku justru selalu pilih kasih. Dia lebih peduli kepada Lili yang jelas sudah memiliki banyak uang karena bekerja.

Entah kenapa dia bisa seperti itu. Lili pun juga tak menerima kalau aku menjadi penulis. Aku yakin, pasti Lili lah yang bicara ke Ibu kalau aku telah ke salah satu CEO penerbit buku terkenal di Surabaya.

Entah kenapa keluarga yang harusnya saling support satu sama lain agar anak-anaknya sukses justru tidak di keluarga ini. Aku benar-benar menyesal lahir di dunia ini dengan tak pernah dan tak pernah dihargai.
Akupun membalas ucapan Ibuku dengan nada pura-pura lembut.

"Bu..Ibu pasti ingin kan, anak Ibu ini bisa sukses dan nanti bisa membahagiakan Ibu. Intinya Ibu harus memberikan dorongan yang kuat ke Riski agar Riski bisa sukses meski menjadi penulis", rayuku justru membuat Ibuku tersenyum sinis. Aku tak menyangka ia merespon seperti itu. Benar-benar sakit hati ini selalu menerima respon Ibu yang acuh dan selalu membuat aku down.

"Hmmm...Iya, intinya jangan sombong ya nanti. Dan harus bisa hasilkan banyak uang". Senyum munafiknya membuat aku langsung ingin pergi dari rumah saja jika keadaan seperti ini.

Alter Ego WriterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang