* Surya POV
"Ini semua salahku." Aku terdiam di kursi lapangan sembari merenungkan kecerobohanku. Bisa-bisanya aku terjatuh sebelum menyelesaikan perlombaan, padahal aku sudah sangat percaya diri tadi.
Kenapa sih kau kaki?! Kenapa kalian tidak mau kerja sama?! Argh! Lama-lama kupotong juga kalian.
Hasil dari kecerobohanku itu, aku mendapat tanda di keningku. Merah, sedikit benjol. Lalu, lututku juga terkena imbasnya. Terluka memang dan juga sudah diobati, sekarang telah ditutupi dengan plester. Tapi itu sama sekali tidak melukaiku, karena yang sakit sebenarnya adalah hatiku.
Ah! Aku frustasi. Sangat kesal, sampai-sampai aku mengacak-acak rambut sendiri seperti orang gila.
"Jangan dimasukkan ke hati, itu hanya perlombaan," kata si keamanan yang ada duduk di sampingku ini.
Aku menatapnya dengan tatapan yang sangat mengerikan. "Kau tidak tahu kesedihan apa yang melanda hatiku, dan lagi ... kenapa kau bisa kalah darinya? Bukankah sudah kubilang kalau kau harus menang?"
"Y-Ya ...." dia menggaruk lehernya. "Kenapa kau terkesan menyalahkanku?"
"Memang itu faktanya!" Aku menghela napas pasrah. Saat ini aku sangat lelah dan rasanya ingin tidur-tiduran di UKS, tapi jiwaku merasa tidak tenang karena harus bersiap diri untuk memenuhi keinginan Raka. "Maaf sudah membentakmu, ini juga salahku." Aku akhirnya merasa bersalah kepada si keamanan.
"Tidak, kau tak perlu meminta maaf. Sekarang, apa yang akan kau lakukan?"
"Entahlah, menunggu nasib."
Tak lama setelah itu, kudengar ada yang mendekat dari belakangku. Si keamanan tampak menoleh ke arah sumber suara, sedangkan aku yang sudah tahu siapa itu tetap bersandar pada sandaran kursi dengan mata yang tertutup rapat.
"Bagaimana rasanya mencium tanah?" Suara yang terdengar familier itu langsung menohok hatiku.
"Diamlah." Aku membuka mata dan menatap sinis gadis itu. "Apa kau tak lihat aku sedang lelah?"
"Ya, aku dapat melihatnya dengan jelas." Amanda tersenyum sedikit. "Terlebih lagi di keningmu itu," ucapnya sambil menunjuk keningku yang memerah. "Padahal orang-orang mendukungmu dengan semangat. Kau tidak menyadarinya, ya?"
"Tentu saja aku sadar, dan mungkin itu yang membuatku terjatuh."
Amanda tertawa. "Jangan salahkan orang atas kecerobohanmu, lagian aksimu yang di detik-detik akhir cukup membuat seluruh orang terhibur. Hm, aku memang menduga kau ini adalah pelawak yang handal."
"Apa kau tidak punya kerjaan selain mengejekku? Apa kau tidak ikut lomba?"
"Amanda sudah menyelesaikan perlombaannya." Malah si keamanan yang menjawab. "Dan dia mendapat posisi pertama."
"Bisakah kau tidak membuat hatiku bertambah hancur lagi?" Aku melempar tatapan datar yang lesu padanya.
"Jadi?" Amanda bersuara, menarik kembali perhatianku padanya. "Apa yang akan kau lakukan?"
"Entahlah, sepertinya aku akan menuruti seluruh keinginan Raka."
Amanda menghela napas. "Setelah ini, aku akan turun tangan langsung."
"Tapi kau yang bilang sendiri tak perlu terlalu terburu-buru," ucapku sambil mengernyit bingung.
"Memang, tapi Raka adalah tipe yang keras kepala. Kau tahu, 'kan, batu yang keras akan memakan waktu yang lama untuk memecahkannya? Begitu juga dirinya."
"Tapi, batu yang keras akan mematahkan beliungmu jika kau salah memukulnya."
"Aku tahu itu." Amanda melipat tangannya di bawah dada. "Namun aku akan menggunakan cara apapun untuk menyelesaikan ini."
"Tidak bisa." Aku bangkit secara spontan setelah ia mengatakan hal yang bersifat nekat itu. "Biarkan aku yang mengerjakan ini sampai selesai, jika kau salah langkah menghadapi laki-laki itu kemungkinan akan berdampak buruk padamu."
"Aku yang mengisi posisi ketua di sini, Surya Mahardika, seharusnya kau patuh dengan apa yang kuperintahkan."
"Aku memang sudah menuruti tugas darimu untuk menyeret Raka ke pihak kita dan aku takkan melepaskan tugas itu." Aku menatapnya tajam. "Beri aku kesempatan lagi, kali ini takkan ada kecerobohan dan kau tidak perlu susah payah membujuknya."
Aku tak ingin dia mencari masalah dengan Raka, cukup aku saja. Aku tidak bisa membayangkan dampak apa yang akan terjadi jika kubiarkan gadis di depanku ini mengambil keputusannya sendiri.
Amanda menghela napas sambil memijit pangkal hidungnya. "Baiklah, akan kuberi kau kesempatan lagi. Jangan sia-siakan keputusanku ini, Surya."
"Tentu saja."
***
Sekolah sudah sepi sejak lima menit yang lalu, hanya menyisakan suara angin dan sorakkan beberapa pemain klub ekstrakulikuler sepakbola di lapangan.
Jendela di kelas ini dibiarkan terbuka agar suasana sejuk masih dapat kurasakan setelah AC dimatikan beberapa saat yang lalu. Aku berdiri di pinggir dekat jendela, menatap pemandangan sore yang hampir membuatku mengantuk. Beberapa kali angin membelai wajahku dan membuat rambut dan dasiku berkibar sejenak.
"Surya."
"Hm?" Aku memutar leher ke belakang, di sana aku mendapati si keamanan sudah menyandang tas di punggungnya, bersiap untuk pulang.
"Kau yakin kutinggal?"
"Ew ... kau membuatku jijik." Aku merinding mendengarnya. "Pergi saja sana, aku yang akan mengurus sisanya."
"Baik—"
"Oh, maaf sudah membuatmu menunggu!" Akhirnya mereka datang juga dan itu membuat si keamanan batal untuk pulang. Aku memutar tubuh menghadap ke arah mereka bertiga sambil menatap lurus ke Raka. Laki-laki itu menyeringai lebar, entah apa yang ada di benaknya sekarang.
"Kukira kau sudah pulang," kataku.
"Awalnya begitu, tapi aku ingat janjimu." Dia meregangkan tubuhnya, seakan-akan siap untuk bertarung ... atau memang ingin bertarung denganku.
Si keamanan dengan cepatnya berdiri memunggungiku, mencoba melindungiku dari Raka. "Jika kau berniat untuk berkelahi di sini, sebaiknya kau urungkan saja niatmu itu. Di sini ada CCTV."
"Siapa yang ingin bertarung dengan pecundang itu?" Raka menunjukku. "Aku hanya ingin memberitahunya ... kalau mulai detik ini sampai satu minggu ke depan, ia akan menjadi pelayanku."
"Itu tidak—"
"Berhentilah membelaku, itu membuatku jijik." Aku maju ke samping si keamanan sambil menepuk pundaknya. "Tak apa, aku sudah terbiasa dengan ini." Pada akhirnya masa laluku akan kembali terulang di masa ini. Namun, bedanya ... ini aku lakukan demi orang lain.
"Baiklah, mulai detik ini, seluruh perintah darimu akan kulaksanakan sampai minggu depan."
Raka tertawa pelan bersama dengan kedua temannya itu. "Oke, Pecundang, perintah pertamaku ... kerjakan bagian piketku. Pastikan seluruh sudut kelas ini bersih."
Aku hanya diam sampai mereka berlalu pergi dengan rasa puas. Tak ada rasa dendam ataupun marah yang menggebu di dadaku, ini menandakan aku sudah terbiasa dengan apa yang dilakukan orang-orang padaku sejak dulu.
"Surya ...."
"Hari sudah terlalu sore, kau tidak pulang?" tanyaku pada si keamanan.
Si keamanan itu menatap diriku beberapa detik sebelum ia menghela napas dan menjawab, "Baiklah, jaga dirimu, ya," katanya sambil menepuk pundakku dan berlalu pergi, meninggalkanku sendirian di kelas ini.
Aku memperhatikan seisi kelas. Yah, ini hukumanku karena sudah seenaknya membuat tantangan. Aku pun mengambil sapu dari lemari penyimpanan dan sekali lagi menyisiri setiap sisi kelas.
Setidaknya ... kelas ini tak terlalu kotor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amanda & Her Choice
Teen FictionSurya Mahardika adalah seorang siswa yang menyatakan dirinya sebagai makhluk anti sosial. Ia menilai bahwa dirinya bisa melakukan apa saja dengan sendiri tanpa mengharapkan bantuan makhluk-makhluk yang biasa disebut sebagai teman. Masa lalunya yang...