Bab. 13

5 4 0
                                    

Setelah kegaduhan yang menyita perhatian sebagian warga sekolah, suasana kembali kondusif. Proses belajar-mengajar terlaksana seperti biasa tanpa ada hambatan, namun ada sedikit kendala di kelas X.IPA.3.

Di saat murid-murid kelas itu bisa belajar seperti biasa, aku, Amanda dan anggota perangkat kelas lainnya harus duduk di ruangan kepala sekolah bersama dengan Bu An. Kami diperintahkan untuk menghadap kepala sekolah atas apa yang Raka perbuat. Dan ... di sinilah kami berada.

Aku, Bu An, dan Amanda duduk di tiga antara enam kursi yang sudah tersedia di depan meja kepala sekolah. Sedangkan, Irfan, Inara, dan Bella berdiri di belakang kami.

Kenapa aku mengatakan tiga antara enam kursi yang tersedia? Karena untuk tiga kursi lainnya diperuntukkan kepada wali kelas XI.IPS.1 beserta perangkat kelasnya. Ya, itu adalah kelas tempat orang-orang yang sudah mencari ribut dengan Raka sebelumnya.

Kami semua dikumpulkan dalam satu waktu setelah Raka dan yang lainnya menyelesaikan urusan mereka di sini satu jam yang lalu. Alasan kami dikumpulkan sudah dapat kutebak, yaitu membicarakan dan mempertanggung jawabkan perbuatan yang dilakukan Raka.

Di sekolah ini peraturannya cukup berbeda dari sekolah lain. Di sini, anggota kelas mendapat kuasa penuh atas kelas yang mereka tempati. Dengan kata lain, suatu kelas dianggap sebagai negara dan negara yang mendapat masalah harus mempertanggung jawabkan kesalahan mereka. Jika satu anggota kelas membuat masalah, sanksi kesalahan itu tidak hanya jatuh ke pelaku, namun juga kepada anggota kelas lainnya.

Sebenarnya cukup banyak peraturan kelas yang ada di SMA ini, kebanyakan seperti sistem negara. Sebagai contohnya kau bisa melakukan kerjasama dengan kelas lain, dan juga dapat membuat permusuhan dengan kelas lain pula. Di sini, aku cemas kalau kelas XI.IPS.1 akan menganggap kami sebagai biang masalahnya, begitu juga dengan pihak kami sebaliknya. Hubungan antar kelas bisa saja renggang di saat ini juga.

"Ugh ...." Memikirkannya saja membuatku sakit kepala. Hal ini bisa membuat masalah yang tambah merepotkan di masa depan.

"Surya." Amanda mengulurkan tangannya dan menyentuh pahaku. "Kau tak apa?"

Aku diam menatapnya sebelum menjawab, "Aku baik-baik saja." Sebenarnya Amanda terus melirik padaku saat sedang perjalanan kemari. Sampai saat ini ia juga memandangi cemas diriku. Aku tak tahu apa alasannya, tapi itu membuatku kadang salah tingkah.

Amanda kembali menarik tangannya. Jarak antara kami terpisahkan oleh Bu An yang duduk di tengah-tengah. Jadi tadi perhatian Bu An agak teralihkan dari Amanda ke aku.

"Apa kamu masih pusing?" tanya Bu An. "Ibu sudah dengar kalau Raka menyerang pelipismu tadi."

"Ini sudah mendingan. Lagipula Raka tadi tidak sengaja, jadi tidak perlu dipikirkan, Bu."

Bu An hanya mengangguk, tapi dari raut wajahnya terlihat jelas kalau ia merasa bersalah.

"Baik." Sang kepala sekolah yang kami tunggu dari tadi akhirnya tiba. Ia berjalan mengitari kami untuk sampai ke mejanya. Pria paruh baya bertubuh cukup gemuk dan memakai kacamata, itulah yang kulihat dari penampilannya. Selain itu, kumis dan janggut tebal menghiasi wajah keriputnya. Ia duduk di kursinya dan melihat sehelai lembar kertas di meja. "Jadi ... X.IPA.3 dan XI.IPS.1, ya."

Tidak ada yang merespon.

Pandangan pria itu masih di kertas yang terletak di mejanya. "Tiga siswa dari kelas X.IPA.3 dan dua siswa dari XI.IPS.1 terlibat perkelahian. Apa benar?"

"Ya, Pak," jawab Bu An dan wali kelas XI.IPS.1 secara serentak.

"Apa ada pembelaan dari kelas yang terkait? Bagaimana XI.IPS.1?" Mata kepala sekolah tertuju pada perwakilan kelas itu. "Menurut dua siswa dari kelas kalian, mereka tidak mengaku memancing perkelahian itu terjadi, justru murid-murid dari kelas X.IPA.3 yang mencari masalah." Untuk sesaat, kepala sekolah melirik ke arah kami. "Bagaimana tanggapan kalian?"

Amanda & Her ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang