Hidup Hanyalah Sungai Semesta

124 14 1
                                    

Bagaimana mungkin manusia mampu melawan arus, sedangkan hidup ini tercipta semata-mata hanya untuk jadi sungai semesta?

Hai! Namaku Anggi. Dan itulah motto hidupku.

〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️✴️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️

"Kamu ulang tahun hari ini ya, Nggi?"

Seseorang menepuk pundakku. Tak mengagetkan, aku sudah terbiasa ditepuk dari belakang saking jarangnya menoleh ke sana. Kalau ada jam kosong begini, aku lebih suka membaca novel. Orang sepertiku tidak akan pernah menyentuh buku pelajaran kalau bukan karena suruhan.

Aku justru kaget dengan pertanyaan yang diajukan. Dan barangkali, seseorang itu jauh lebih kaget ketika responku hanya sebatas mengangkat alis dengan bingung.

"Jangan bilang kamu enggak ingat ulang tahun sendiri!"

Aku menggendikan bahu, "Memang enggak."

"Apa?" Suaranya sekarang menjelma toa yang memberi pengumuman agar para warga segera melakukan kerja bakti. Ya, kerja bakti mulut. Kalian tahu? Di kompleks rumahku, kerja bakti jadi momentum terbaik untuk beradu pendapat dalam konteks menganalisis privasi orang lain. A.K.A. Gibah!

"Emangnya kenapa?" Tanyaku balik, meski aku tahu hal itu menyebalkan. Tapi ya sudah lah, toh aku memang bertanya.

Gadis itu berdecih sebal, "Kok bisa sih, Nggi? Emang kamu gak mau merayakan apa-apa?"

Namanya Fitri. Ketua kelas dan ketua OSIS di sekolah. Ceria dan enerjik. Cukup cantik. Kalau boleh jujur, dia tidak terlalu menonjol di bidang akademik. Nilai ulangannya hampir selalu sama denganku. Tapi pembawaannya yang asik berhasil membuat banyak orang simpatik. Aku tidak cukup dekat dengannya, sebab aku memang tidak dekat dengan siapapun. Tapi dia adalah salah satu orang yang aku yakini baik.

"Memang dalam hidup, apa yang harus dirayakan, sih? Bukannya semua yang ada di dunia cuma persinggahan aja?"

Jawabanku tentu tidak memuaskan dan tidak mudah dipahami. Hal itu jelas terlihat dari raut wajah Fitri yang tertekuk bingung. Ia hanya mengangguk seadanya dan membagikan lembar ulangan matematika. Nilaiku 30, baiklah tolong jangan katakan aku mirip monyet. Tapi, sebentar! Oh, rupanya dari sini Fitri tahu. Ulangan matematika harus selalu membubuhkan tanggal lahir setelah nama. Katanya, supaya kita mampu menghitung rentang waktu dan sejauh mana langkah yang telah ditempuh.

Sudah tanggal 21 Januari. Usiaku sekarang 17 tahun. Tingkat akhir sekolah menengah atas. Dan tentu saja, aku belum menempuh apapun.

"Nggi,"

Aku menengok ke bangku seberang, tampak Fitri sedang mengambil beberapa surat.

"Boleh bantu bagiin ini, engga?"

"Boleh," Jawabku tanpa basa-basi, mengambil sebagian dati tumpukan kertas yang Fitri bereskan, lalu membagikannya.

Oh, ini hanyalah kertas pendaftaran kuliah.

Tunggu.

Pendaftaran kuliah, ya?

✴️✴️✴️

Lalu bila hidup adalah sungai, kita tetap tak bisa memilih muara, kan? Betul, kan?

Jadi begini rasanya bimbang. Meski sedikit, aku merasa cukup kalut ketika memikirkan studi lanjutan.

Sebetulnya, aku tak punya beban ekspetasi apapun. Mama dan Papaku sudah berpisah dan aku tak pernah tahu mereka sedang apa. Selama transferan ke ATMku masih lancar, aku tahu bahwa mereka masih baik-baik saja. Syukurlah.

Langit-langit kamar indekos jadi tampak seabu-abu langit di luar. Sebentar lagi hujan pasti datang, entah dari langit atau dari mataku. Sejauh ini aku belum pernah menangis karena apapun. Aneh sekali, saat ini aku justru ingin menangis karena merasakan sesuatu yang begitu asing.

Sesuatu tentang harapan.
Tentang cita-cita.
Tentang keinginan.

Aku menatap jajaran buku yang kubeli dengan harus mengeratkan ikat pinggang. Menahan lapar tak sesulit menahan sepi, jadi aku harus selalu menyediakan stok buku sebagai teman.

Betul, selama hidup, aku hanya berteman dengan buku cerita. Ia tak pernah kemana-mana. Ia menyediakan dunia yang membuatku tak pernah merisaukan realita. Ia begitu peduli.

Di masa kecil, Nenek adalah orang paling berjasa yang memperkenalkanku pada kisah seorang putri dan kesatria. Sosok putri dan kesatria tidak tampak seperti Mama dan Papa. Meski hubungan mereka sama-sama resmi terikrar janji suci, tapi hanya kisah dari dongeng saja yang berakhir bahagia.

Mama dan Papa cerai saat aku kelas tiga.

Sejak saat itu aku tidak percaya bahwa cinta bisa hadir di dalam hubungan pernikahan.

Aku hidup bersama Nenek. Kami sering menghabiskan waktu untuk membaca novel, lalu saling bercerita tentang betapa heroiknya tokoh yang kami baca. Atau tentang betapa ingin Nenek hidup di Hogwarts sesaat setelah menyelesaikan seriel Harry Potter. Katanya, ia rela kalau harus jadi Office Girl. Ya, beliau memang lucu.

Beberapa tahun kemudian Nenek meninggal karena penyakit asma. Tepat saat aku akan masuk SMA.

Dari sanalah semuanya bermula. Aku kehilangan satu-satunya orang yang berarti. Aku kehilangan satu-satunya cinta yang ada. Aku kira hubungan ini tidak seperti Mama dan Papa. Aku kira cinta yang tulus akan menahan segala perpisahan dan kesedihan.

Ternyata aku salah.

Ternyata memang seharusnya, cinta tidak diciptakan jika pada akhirnya hanya menimbulkan lara berlebihan setelah takdir mengetuk palu perpisahan.

Di luar benar-benar hujan, sedang mataku hanya mengeluarkan setetes air. Keputusan ini sebetulnya mudah, tapi aku seperti menyelami masa lalu tanpa mengetahui akan seperti apa pulau masa depan kelak.

Yang aku tahu, aku hanya akan berlayar bersama buku.

Dan, ya, usiaku sekarang 17 tahun. Belum menempuh apapun. Tapi kurasa, aku akan.

Aku sudah meyakini untuk memilih jurusan sastra. Sepertinya itu cocok dengan nilaiku yang tak setinggi juara-juara olimpiade, meski tak serendah anak-anak berandalan yang hobi mabok dan kelayapan.

Tanggal 21 Januari tahun ini, aku memilih.
Dan semoga tanggal 21 Januari tahun depan, aku sudah berjalan di arus yang benar. Semoga Tuhan berbaik hati. Aku yakin, cinta selalu merayu manusia untuk melawan arus. Cinta pada manusia, pada uang, pada tahta, pada gelar.

Dan karena aku manusia semesta, aku harus mengikuti arus. Maka aku selalu berjanji untuk tidak mencintai siapapun. Atau apapun. Bahkan pada buku-buku itu.

Karena aku tahu, mencintai mereka secara berlebihan akan menimbulkan sesak ketika--misal, suatu saat ada kebakaran, dan aku tidak bisa menyelamatkannya.

Mencintai sesuatu akan membuatku terkurung, dan itu tidak indah sama sekali.

Karena tidak pernah ada yang mencintaiku, maka aku pun tidak akan pernah mencintai bumi dan segala isinya.

〰️〰️〰️〰️〰️

Hai, Asa kembali. Rasanya ingin kembali aktif di platform oren dan media sosial lain, tapi apa daya saya sering malas hahaha. Semoga suka. Jangan lupa share ke temanmu, atau ke instastorymu dengan menandai akun @askarasa_ 🖤

Retoris [Fiksi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang