Di atas kita dapat melihat bahwa penempatan perempuan pada posisi kelas dua dalam masyarakat berawal dari tergesernya peranan kaum perempuan dalam lapangan
produksi dan kekuasaan. pada gilirannya, tergesernya peran ini adalah akibat dari tingkatan teknologi masa itu yang tidak memungkinkan kaum perempuan untuk
memasuki lapangan produksi. Posisi kelas dua ini diperkukuh oleh sistem kepemilikan pribadi, yang pada
gilirannya memunculkan diri dalam berbagai prasangka, sistem nilai dan ideologi yang menegaskan paham keunggulan laki-laki dari perempuan.
Karena ketertindasan perempuan berawal dari sebuah perjalanan sejarah yang objektif maka upaya pembebasan perempuan dari posisi yang ditempatinya sekarang ini harus pula menemukan kondisi objektif yang memungkinkan dilakukannya pembebasan tersebut. Kondisi itu adalah kembalinya kaum perempuan ke lapangan produksi kolektif.
Kondisi ini sesungguhnya telah diwujudkan oleh kapitalisme. Kapitalisme yang mengandalkan mesin sebagai alat produksinya yang utama, telah memungkinkan kaum perempuan untuk kembali berkarya di bidang produksi kebutuhan masyarakat.
Bahkan, sekarang ini, jika kita melihat di kota-kota besar, sudah jarang sekali ada kaum perempuan yang tidak memberikan sumbangan bagi perolehan kebutuhan
hidup keluarganya.
Lagipula, kapitalisme telah membuat sistem produksi menjadi semakin lama semakin kolektif.
Sepasang sepatu NIKE, misalnya, adalah buah karya ratusan, bahkan ribuan orang dari berbagai negeri. Hampir tiap barang yang kita pergunakan untuk
memenuhi kebutuhan kita sehari-hari merupakan hasil kerja ratusan bahkan ribuan orang. Ini semua adalah pertanda bahwa sistem produksi komunal semakin hari
semakin berjaya kembali.
Dapatlah kita lihat bahwa perkembangan kondisi objektif ini telah menghasilkan ruang yang sangat terbuka bagi perempuan. Gerakan emansipasi perempuan telah berkembang bersamaan dengan masuknya
perempuan - perempuan ke pabrik-pabrik.
Kini perempuan telah berhak turut serta dalam berbagai bidang pekerjaan. Kebanyakan perempuan juga telah bebas untuk memilih jalan hidupnya sendiri,
termasuk memilih pasangan hidup.
Namun demikian, kondisi objektif ini tidak dapat berkembang menjadi pembebasan perempuan yang sepenuh- penuhnya karena sistem nilai yang ada di
tengah masyarakat masih merupakan sistem nilai yang mendukung adanya peminggiran terhadap peran perempuan.
Kita dapat melihat bahwa pekerja perempuan kebanyakan diupah jauh lebih rendah daripada pekerja laki-laki. Dan ini bukan terjadi di pabrik-pabrik saja.
Demikian pula yang terjadi di banyak kantor-kantor, bahkan di kalangan industri perfilman di mana aktris biasanya digaji lebih rendah daripada aktor.
Masih dalam bidang pekerjaan, kita tahu bahwa bidang-bidang tertentu masih diposisikan sebagai perempuan.
Seorang sekretaris, misalnya, haruslah cantik dan memiliki bentuk tubuh yang menarik. banyak orang masih meremehkan seorang perempuan yang bercita-cita
dan berusaha keras untuk, misalnya, menjadi seorang pilot.
Ini berkaitan erat dengan masih dijadikannya perempuan sebagai simbol seksual dalam masyarakat. Penilaian utama terhadap seorang perempuan diletakkan pada apakah ia cantik atau seksi dan bentuk-bentuk penilaian fisik lainnya. Sesungguhnya, penilaian inipun sangat

KAMU SEDANG MEMBACA
PEREMPUAN DALAM LINGKAR FEODALISME
AléatoireArtikel ini diambil dari jurnal literasi trotoar, untuk rilis fisik maupun PDF bisa DM kita di : Instagram : @literasitrotoar Twitter : @literasiliar Email : literasitrotoar@protonmail.com