“Kau masih disini?”
Malam itu lampu yang berada di stasiun tua di Lisabon mati karena konsleting listrik. Stasiun yang bernama Rossio itu kecil, dan memiliki terminal yang kecil pula dengan dua pintu masuk berbentuk tapal kuda.
Stasiun yang indah tak melulu harus besar, stasiun Rossio terletak di pusat kota. Bangunan yang terlihat berbeda dari gedung-gedung menjulang di sekitarnya itu diresmikan pada tahun 1890. Bentuknya di rancang dengan gaya Neo-Manueline, sebuah era kebangkitan gaya abad ke-16 yang menjadi ciri khas negara itu.
Namun stasiun itu sepi pengunjung, karena bangunan itu sudah tak menarik lagi bagi orang-orang yang membutuhkan transportasi kilat. Bangunan itu kini menjadi tempat tertua yang tak pernah tersentuh tangan untuk direnovasi. Oleh karena itu, stasiun Rossio layak mendapatkan predikat stasiun tertua di dunia oleh Guinness world record.
Meskipun lampu padam, namun dua orang disana tetap yakin akan pendiriannya untuk tetap tak bergeming. Ada satu lampu berwana kuning yang menempel di pilar utama sebagai pencahayaan sementara yang temaram.
“Ya. Aku selalu disini seperti biasa.”
Kreb adalah salah satu diantara dua orang itu. Ia selalu memakai mantel tebal di malam hari karena pergantian musim yang dapat membekukan telapak tangan. Maka ia tak lupa mengenakan sarung tangan tebal berbahan bulu domba agar tangannya tetap hangat, meski ia sudah tiga jam menduduki kursi kosong disana.
“Kau tak lapar Kreb? Ini sudah melewati jam makan malam, lho.”
Pukul 07:27 terakhir kali Green mengecek jam dinding yang menempel di tembok besar yang berwarna putih, namun kini warna putihnya telah berubah menjadi abu-abu karena dimakan waktu. Dekat pintu masuk utama stasiun itu, jam dinding itu berada. Berdentang tiap kali jarum panjangnya menunjuk pada angka dua belas yang pas.
Green bekerja sebagai penjaga stand minuman kakao di dalam Rossio. Tapi terkadang, ia menjajakan donat-donat kentang di depan jalan yang melintang tak jauh dari stasiun, sebagai sampingan karena stasiun yang tak pernah ramai. Jadi aman-aman saja Green berkeliaran dan menjadikan Rossio sebagai rumah keduanya.
“Aku tak lapar, jangan tawari aku donat kentangmu lagi. Uangku hanya tinggal satu kali perjalanan pulang ke rumah.”
Green mengabaikan Kreb, dan pergi menuju tempat istirahatnya yang berupa bilik di dalam Rossio. Sudah seperti kamar pribadi disana, bahkan hampir empat puluh persen barang-barang miliknya berpindah tempat memenuhi bilik kecil yang ia tiduri.
Green mengambil sesuatu dari dalam tas ransel yang terletak di lantai. Ia memakai kaos kebesaran yang tipis, dan ia merasa kedinginan ketika menghampiri Kreb di luar. Setelah memakai hoodie, ia keluar sambil membawa dua cup mie instan yang sudah ia seduh sebelum menyapa Kreb.
“Bukan donat ya kan.” Green memberi satu cup mie kuah yang masih mengepul di depan Kreb, namun tak segera Kreb terima.
“Ini panas, aduh.” Segera Kreb tolong seduhan menu tak sehat itu, meskipun begitu itu adalah menu mewah sejuta umat.
“Terimakasih Green. Aku berhutang lagi.”
“Tidak kok, aku hanya bisa mentraktirmu ini. Minggu besok aku harus pulang ke rumah, jadi aku harus berhemat.”
“Ya ya, baiklah. Kenapa kau selalu melarangku untuk ikut pulang denganmu?”
Green tak telaten memakai sumpit, jadi ia langsung memakan mie-nya dari ujung cup seperti meminum teh oolong yang menyegarkan. Ia melepas penutup kepala yang menutupi rambutnya pada hoodie yang ia kenakan, seketika teman di sampingnya tersedak mie panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
WELCOME GRANCHIO
Short StoryJangan sampai kau berubah menjadi biru, apa lagi kelabu. karna kau terlalu lama menunggu hingga tetesan hujan telah membeku. Spesial present for, ' Kreb'. Aku telah menepati janjiku untuk meminjam namamu sebagai protagonis. Berjanjilah agar kau meni...