one

64 6 0
                                    

Chris pindah ke kota ini dua minggu yang lalu.

Terletak di luar kota Seoul, kota ini lebih kecil dan lebih sederhana daripada Seoul yang gemerlap. Tidak ada mobil-mobil mewah maupun gedung pencakar langit. Bangunan-bangunannya pun terkesan sudah tua, hanya ada beberapa saja yang terlihat baru. Tapi, Chris tidak masalah dengan itu. Justru, itu alasan utama kenapa Chris memilih pindah ke sini. Ia sudah lelah dengan sibuknya kota Seoul yang seolah tak pernah beristirahat. Belum lagi, pikirannya seakan buntu. Chris kesulitan untuk melanjutkan novelnya (ah, iya, Chris adalah seorang novelis). Harapannya, ia akan menemukan inspirasi saat tinggal di sini.

Satu-satunya hal yang tidak Chris sukai dari kota ini adalah jalannya yang rumit. Serius, deh. Jalannya benar-benar rumit, punya banyak jalan tikus dan belokan. Di hari-hari pertama, Chris sampai tersasar saat mencoba menemukan minimarket. Padahal, ternyata jarak antara minimarket dengan apartemennya tidak terlalu jauh. Sekarang, Chris masih mencoba menghafal lingkungan tempat tinggalnya. Ia masih sering bingung, tapi setidaknya sudah lebih baik daripada hari pertama.

Seperti sekarang, Chris berhasil mencapai minimarket hanya dalam waktu dua puluh–ah, tidak, lima belas menit! Itu rekor, mengingat di hari pertama Chris menghabiskan waktu satu jam hanya untuk mencari minimarket.

"Hai, Chris!" Felix, sang kasir minimarket, menyapa dengan ceria. Telinga kucingnya yang berwarna putih bergerak-gerak antusias. "Kesasar lagi?"

Chris tertawa. "Nggak, aku sudah lebih hafal jalannya berkat peta yang kau berikan."

Felix adalah salah satu dari sekian banyak warga kota yang baik padanya. Hybrid kucing itu banyak memberikan bantuan pada Chris soal arah, salah satunya adalah sebuah peta berisi rute apartemen sampai minimarket yang digambarnya sendiri. Peta itu membantu sekali, walau harus Chris akui, terkadang ia masih tersasar akibat rumitnya jalan kota ini.

"Senang aku bisa membantu," Felix tersenyum secerah matahari. "Oh ya, bagaimana?"

"Bagaimana... apanya?"

Felix terkikik pelan. "Maksudku, bagaimana, sudah betah tinggal di sini atau belum? Atau ada hal yang membuatmu nggak suka?"

"Ah, satu-satunya hal yang membuatku kesusahan di sini hanyalah jalannya yang rumit. Sisanya? Sempurna."

"Nggak serumit itu kalau sudah terbiasa, percayalah!"

Chris hanya tertawa mendengarnya. Yah, semoga saja. Ia juga lelah kalau terus-terusan tersasar.

Chris berlalu dari hadapan Felix ketika ada pengunjung lain yang masuk. Sambil berdiri di depan rak minuman ringan, Chris bisa mendengar suara ceria Felix bertukar sapa dengan pengunjung toko. Hybrid kucing itu memang ramah, bahkan kepada Chris yang notabene seorang pendatang baru.

Sebenarnya, rata-rata penduduk kota ini ramah, sih (meskipun Chris belum bertemu semuanya). Pasangan tua di samping kamar Chris memberinya banyak sekali makanan begitu tahu Chris tinggal sendiri. Rombongan anak muda yang tidak sengaja lewat membantu Chris mengangkat barang-barangnya sampai kamar. Seorang gadis yang tinggal di lantai bawah selalu menyapa dan menanyakan kabarnya kalau mereka tidak sengaja bertemu. Dua orang anak SD membantu Chris pulang ke apartemen saat ia tersasar.

Chris merasa diterima di sini.

.

Chris meletakkan barang yang mau ia beli di kasir. Tidak banyak. Hanya sebotol pembersih lantai, spons cuci piring, dan sekotak cokelat bubuk.

"Hei, Chris."

"Hm?"

"Kau mau makan siang denganku?" Felix memasukan belanjaan Chris ke dalam tas belanja. "Aku akan istirahat dalam... um," Felix menoleh cepat pada jam dinding. "... lima belas menit lagi. Kalau tidak keberatan, mau tunggu aku? Habis itu kita makan. Ada restoran enak di dekat sini, kau pasti suka! Aku juga ingin mengenalkanmu pada temanku yang bekerja di sana," mata Felix berbinar, tapi sejenak kemudian ia terkekeh pelan. "Ah, tapi kalau nggak mau, nggak apa-apa. Aku nggak maksa, janji!"

"Boleh saja," Chris tersenyum. Lagipula, dia tidak ada kerjaan. "Aku tunggu di luar?"

Senyum Felix merekah. "Okie dokie!"

Chris menunggu Felix di luar minimarket, duduk di kursi besi yang sedikit berkarat. Beberapa orang yang keluar-masuk dari minimarket menyapanya, yang kemudian dibalas senyum oleh Chris.

"Chris-Chris!" lima belas menit, Felix keluar dari minimarket. Ia berlari kecil menghampiri Chris. "Ayo!"

Chris membiarkan Felix menggandengnya. Selagi berjalan, Felix terus berceloteh. Kadang, Chris berpikir kalau Felix terlalu enerjik untuk ukuran hybrid kucing. Soalnya, kucing kan terkenal dengan kemalasan mereka. Sepanjang hari saja biasa mereka habiskan untuk tidur. Tapi, Felix justru terlihat seperti punya tenaga yang tidak ada habisnya.

Walau, kalau boleh jujur, Chris tidak keberatan, sih. Keberadaan Felix membuatnya merasa tenang. Entah itu karena aura Felix yang hangat, atau karena hybrid memang punya kemampuan untuk membuat orang di sekitarnya merasa tenang. Atau mungkin dua-duanya? Ya, pasti dua-duanya.

"Oh, lalu, Chris, kau harus bertemu dengan Minho!" Felix sedikit meloncat-loncat. "Dia itu, umm, waliku? Pokoknya, aku tinggal dengannya! Minho keren, tapi kadang galak, tapi pokoknya keren. Dia pemilik pet shop satu-satunya di sini."

Wali? Chris mengernyit. Wali... itu sebutan halus untuk orang yang memiliki hybrid. Di zaman sekarang ini, hybrid memang bukan lagi menjadi korban penindasan. Hanya saja, mereka tetap tidak bisa hidup sendiri tanpa adanya seseorang yang memiliki mereka melalui hitam di atas putih. Alasannya, meskipun hybrid punya sisi manusia, mereka tetap memiliki insting hewan yang terkadang tidak terkendali. Kalau hidup sendiri, ditakutkan mereka melukai orang lain atau malah diri mereka sendiri.

Bertemu dengan wali Felix? Tentu Chris tidak akan menolaknya! Dia penasaran, orang seperti apa yang menjadi wali dari Felix? Yang pasti, Minho-Minho ini pasti orang yang baik. Kalau tidak baik, Felix mana mungkin secerah dan sebahagia ini.

"Aku akan senang bertemu dengannya."

"Bagus! Oh–ini dia tempatnya."

Mereka berhenti di depan sebuah restoran. Chris mengamati restoran itu dalam diam. Restoran itu tidak terlalu besar. Dindingnya yang bercat merah bata sudah agak terkelupas. Salah satu jendelanya ada yang retak. Tapi, tempat itu bersih sekali. Lalu–lalu, astaga, ada aroma masakan yang harum! Chris bisa merasakan mulutnya berair hanya dengan mencium aromanya.

"Restoran ini punya temannya Minho. Dia baik, sering memberiku ikan tuna tambahan," Felix berceloteh. "Oh, terus ada temanku juga yang bekerja di sini. Namanya Hyunjin, Hyunjin itu temanku. Nah, itu dia. Hyunjin!"

Yang namanya Hyunjin benar-benar cantik.

Ia seorang peri, itu yang Chris sadari saat melayangkan pandangannya pada pemuda berseragam yang sedang menghampiri mereka. Memang, sayapnya tidak terlihat–mungkin sengaja disembunyikan, kebanyakan peri seperti itu. Tapi, mata dan aromanya tidak bisa berbohong. Mata Hyunjin, seperti mata peri lainnya, berwarna hijau. Pada iris matanya, ada titik-titik emas yang berkilau seperti glitter. Lalu, aromanya... Chris tidak tahu bagaimana cara mendeskripsikannya, tapi peri selalu punya aroma yang sangat khas. Seperti perpaduan bunga, tanah yang basah, sungai, dan pepohonan.

"Hai, Felix!" Hyunjin menyapa mereka–atau Felix–dengan mata berbinar. Ia mengalihkan pandangannya pada Chris, lalu mengangkat sebelah alisnya. "Oh... hai? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Kau orang baru di sini?"

"Aku baru pindah dua minggu lalu," Chris mengulurkan tangannya. "Chris."

Hyunjin menyambut uluran tangannya dengan sedikit ragu. "Aku Hyunjin. Kau... bagaimana bisa mengenal Felix?"

"Aku sering berkunjung ke minimarket tempat Felix bekerja, dan... kami lumayan sering mengobrol," Chris tersenyum. Entah perasaannya saja, atau memang Hyunjin terlihat tidak menyukainya?

Hyunjin tidak menanggapi. Ia hanya menatap Chris tajam, lalu beralih pada Felix dengan senyuman hangat.

"Duduklah, Lix. Kau bisa panggil aku kalau sudah memilih menu."


to be continued

Evergreen [chan, jisung]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang