Kamu adalah alasanku tertawa
Kamu adalah alasanku berjuang
Kamu adalah kado terindah dalam hidupku.***
Hari ini adalah jadwal kontrol gue yang kesepuluh. Sejak divonis mengidap penyakit sialan itu, kegiatan gue pun bertambah satu disetiap minggunya.
Awalnya pun gue enggan. Apalagi setiap kontrol, Bunda selalu merengek untuk nemenin. Betapa risihnya gue, Mahasiswa tingkat lima tapi masih dianterin sama Bundanya.
Gue tahu banget kalau Bunda khawatir sama badan ringkih gue. Namun, meskipun penyakitan gini, gue tetap berpenampilan layaknya orang sehat kok! Percaya deh.
Sudah 15 menit gue nangkring di ruangan Dokter Tsuna. Nama yang cukup modern sesuai dengan parasnya yang cantik meskipun sudah berumur.
Sejak gue ketuk pintu sampai duduk selama ini, Dia terus menggerakan bibir tipisnya sambil menatap gue dengan penuh rasa cemas. Sedangkan gue, hanya manggut-manggut sambil sesekali tertawa renyah menanggapi.
Jujur saja, pikiran gue lagi melayang bebas dengan kedua tangan yang sibuk merogoh kedalam waist bag cokelat kesayangan gue.
Dalam hati, gue merajuk kesal. Kemana perginya seonggok kertas usang tapi penuh makna itu? Apa jangan-jangan, dia minggat dari waist bag gue yang udah sewindu nggak gue cuci?
Hah. Entahlah. Yang pasti, saat ini gue pengen buru-buru selesai, terus keluar buat nyari barang penting milik gue satu-satunya.
Akhirnya selesai juga si Dokter cantik idaman semua pria ini memberi gue wejangan tentang penyakit gue, lalu dia menyuruh gue buat tebus obat-obatan yang pastinya harus gue konsumsi disepanjang waktu. Dan tanpa ba-bi-bu, gue pun langsung melesat cepat menuju ruang tunggu—bukan ke kasir untuk menebus obat.
"Hm... Permisi Dek, pas mau duduk lihat Buku jelek nggak?"
"Heh! Kamu ngatain Anak saya?!" sahut Perempuan disebelahnya sambil menatap gue dengan galak.
"Eh... Bukan, bukan anak Ibu," dengan gugup sekaligus salah tingkah, gue langsung pura-pura mencari Buku milik gue kekolong-kolong kursi, "Sebelum Ibu datang, saya duduk disini, terus Buku saya hilang, itu Buku emang sudah jelek banget sih Bu, tapi saya sayang gitu loh." lanjut gue.
Si Ibu pun hanya geleng-geleng kepala mendengar alasan gue, "Oh, yang warnanya cokelat ya Mas?"
Gue pun takjub mendengar intonasi si Ibu yang tiba-tiba lemah lembut, lantas gue langsung berdiri tegak a la Tentara Nasional sambil memasang wajah sumringah, "Iya, Bu, Cokelat. Ibu lihat?"
"Kayaknya, sudah dipungut orang tadi Mas,"
Mampus gue sudah dipungut orang lain. Seketika keringat dingin mulai bertebaran di telapak tangan gue. Lantaran, gue pernah berjanji jika Buku jelek ini hilang apalagi sampai dipungut orang lain, gue harus maksa orang itu buat menuhin LIST KEINGINAN GUE! Mau itu laki kek, syukur-syukur itu perempuan kek, atau sekalipun itu Waria pengkolan kek. Gue nggak peduli, TITIK.
"Serius Bu? Ibu lihat orangnya pergi kemana nggak?"
"Sempat lihat Mbaknya kearah Pintu Kelu—"
"PEREMPUAN BU? SERIUS? BENERAN KAN BU?"
"Ngapain saya bohong sih Mas. Makanya saya heran, Mbak-mbak modelan gitu kenapa mungutin Buku jelek kayak begitu tapi jelekkan yang punya sih. Canda Mas e..."
Gue menggeleng, "Astoge Bu! Menohok sekali kata-katanya!" Sementara si Ibu malah asyik cengengesan tanpa dosa.
"Saya permisi deh Bu. Nggak kuat saya kalau lama-lama disini. Btw, makasih loh infonya Mahmud cantieeek!" Pamit gue sedikit manja diakhir kalimat kepada si Ibu yang kiranya masih berusia tiga puluh lima tahun.
Sementara si Ibu, langsung heboh neriakin gue yang sudah acuh berjalan cepat layaknya para Karyawan yang ingin naik KRL menuju Sudirman di rush hour!
Sesampainya di Pintu Keluar, gue pun langsung mengaktifkan mode mata elang sambil berharap dalam hati bisa ketemu sama perempuan yang disebutkan Ibu tadi.
Senengnya bukan main sih pas tahu kalau yang mungut Buku gue itu Perempuan bukan Laki-laki apalagi Waria pengkolan hahaha.
Celingak-celinguk gue mengamati sekitar sambil senyam-senyum geli. Demi cintalah, saat ini gue penasaran banget sama perempuan itu. Kira-kira kayak gimana ya orangnya... Apa jangan-jangan seorang Jendis 40 tahun? Atau malah anak dibawah umur?
Ah kalau gue sih lebih ikhlas jadi Brondong lah daripada harus di cap pedofil. Iya nggak sih? Iyalah ya!
"Sas,"
Tiba-tiba gue dikagetkan dengan panggilan seorang perempuan yang halus, lembut, selembut sutera, "Punya lo kan? Ngapain lo disini?" tanyanya bingung seraya mengangkat Buku jelek yang tengah gue cari.
Demi cinta, gue sudah masuk ketahap bahagia ini sih. Sumpah, kalau bukan cerita fiksi, nggak mungkin banget sih bisa kebetulan gini!!!
"Heeh, Sak? Loh? Iya nih gue lagi ada perlu," jawab gue sambil cengengesan buat nutupin kebahagiaan gue seutuhnya.
"Masih ceroboh aja ya, nih," balas perempuan itu sambil mengembalikan barang berharga milik gue satu-satunya.
"Jadi, lo yang mungut? Lo sudah baca?"
"Cari nama pemiliknya aja. Gue masih ingat kalau lo punya Buku model gitu dan selalu dibawa kemanapun lo pergi. Dan benar saja ya kan, ini punya lo,"
"Ah begitu ya,"
"Lagian, gue juga nggak peduli sih isinya apaan. Yaudah, gue duluan ya Sas."
"Eh Sak, tunggu," sebisa mungkin gue menahan kepergiannya. Namun nampaknya, Dia sama sekali nggak menghiraukan ucapan gue.
Seketika gue langsung tertegun memikirikan apa yang seharusnya nggak gue pikirin tentang makna 'nggak peduli?' yang terlontar dari ucapannya. Apa jangan-jangan, DIA SUDAH BACA PERJANJIAN LIST LIBURAN GUE?
"Mampuslah gue. Ini mah namanya ditolak sebelum ditembak!" ucap gue sambil bergegas menyusul perempuan itu yang lebih dulu meninggalkan Rumah Sakit ini.
Untungnya Dewi Cinta masih berpihak pada hidup gue. Setelah melangkahkan kaki keluar gerbang, gue melihat perempuan itu yang masih berjalan santai di tangga JPO. Dengan nafas tak karuan, gue langsung menyentuh tangan kanannya saat jarak kami hanya sekitar 2 langkah.
"Sak," panggil gue, kemudian sang empu langsung berhenti dengan wajah terkejut,
"Loh, kenapa Sas? Mau bilang makasih? Yaelah, santai aja kali."
"Hahahaha bisa banget nyindirnya ah. Boleh ngobrol sebentar di Cafe biasa?"
"Mau ngenalin pacar baru lo ya? Ciyeee."
Kasihan banget lo Sak. Sudah 2 kali nebak, tapi salah mulu.
"Bukan gitu juga Sak. Lo kenapa jadi suka asal nebak deh. Jadi gimana, lo mau nggak?"
"Malas ah, Sas. Lo tau kan, gue itu nggak suka di gosipin?"
"Yaelah Sak. Iya, gue tahu banget. Tapi please sebentar aja. Setelah itu, lo boleh anggap kita nggak pernah kenal deh. Asli."
"Lah lo kenapa sih?"
"Ada yang harus gue omongin. Please untuk kali ini saja, boleh ya Sak?" ucap gue memohon sambil memasang wajah super melas.
Perempuan itu tertegun menatap gue dengan mimik kebingungan setengah mati. Lama berada diambang keraguan, akhirnya Dia angkat bicara, "10 menit."
ALHAMDULILLAH. REJEKI ANAK BUNDA!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
SANKYU!
FanfictionBukan kisah seorang laki-laki tajir, tampan, dan dikelilingi ribuan perempuan. Tetapi, Hanya kisah seorang laki-laki yang penyakitan, banyak menghayal, selera humor rendah, uang pas-pasan, tapi sayang banget sama Bunda dan Mantannya.