Maaf jika aku pernah tak peduli.
Maaf jika aku selalu lari.
Maaf jika aku telah egois.
Maaf jika luka itu terbuka kembali.***
Sore ini pertama kalinya gue datang lagi ke kafe langganan bersama Dia. Ketika gue membuka pintu kafe, terdengar suara dari barista yang selalu menyambut pelanggan yang datang. Namun begitu melihat gue yang datang bersama Dia, si barista langsung melambaikan tangannya.
"Oi Sas tumben banget."
Gue terkekeh sambil menghampiri meja bar yang merangkap sebagai meja kasir juga. Nama barista itu Sai sekaligus pemilik kafe ini. Dan gue sudah cukup lama kenal dengannya.
"Manteup bawa Mbak S lagi. Lo iming-imingi apaan Sas?" gurau Sai.
"Yeh gue mah nggak perlu pake gituan. Modal tampang pun jadi."
"Halah komuk berantakan aja banyak gaya lo Sas. Menu biasa nih?"
"Ah yang bener lo? Hahaha. Iya dong, tapi kali ini gue pesan 2 ya."
"Wih lagi banyak duit nih. Abis nipu orang lo ya?"
"Nanya lagi, nggak gue bayar. Fix!"
"Hahaha, sensi amat, lagi mens lo? Udah gih temenin Mbak S-nya." bisik Sai diakhir kalimat.
Gue pun mengangguk kemudian berjalan menghampiri Dia yang lebih dulu duduk di pojokkan kafe.
Deritan kursi yang gue tarik didepannya, membuat Dia tersadar akan kehadiran gue. Yah namanya anak muda jaman sekarang, kalau sudah fokus scrolling socmed bisa lupa sama keadaan sekitar.
Disaat gue lagi mencoba membuka percakapan, tiba-tiba pelayan kafe datang sambil membawa nampan yang berisi sepuluh gelas sekaligus. Luar biasa memang kafe milik Sai ini. Meski berada diujung jalan, namun tidak pernah sepi pelanggan.
"Silakan Kak Sas, diminum pesanannya." ujar pelayan itu dengan muka centil lalu melengos begitu saja dengan bokong yang aduhai.
"Makasih!" ujar kami berdua bersamaan. Sesaat kami saling menatap, kemudian saling terkekeh menatap pelayan tadi.
Begitu baiknya si Sai, mau mempekerjakan seorang Waria nan centil seperti itu.
"Jadi, ada apa?" tanya perempuan didepan gue.
Sejenak gue menghela napas panjang, "Apa kabar sekarang? Gue sampai lupa nanya hal kecil gini hehehe."
"Selalu baik dalam kondisi apapun,"
"Hahaha, masih sama saja jawabannya."
"Lo sendiri? Gimana?" tanyanya lagi sambil menyesap minumannya.
"Jauh lebih baik saat dulu," balas gue.
"Harusnya gue yang bilang gitu!" ucapnya sambil memukul bahu tangan gue, sementara gue hanya cengengesan kecil.
Kami pun kembali terdiam. Mencari cara agar dapat mencairkan segala kecanggungan.
"Sebenarnya, apa yang mau lo omongin?" Perempuan itu kembali membuka percakapan.
Dengan sigap, gue langsung membuka waist bag untuk mengeluarkan Buku jelek itu, lalu menyodorkan padanya.
"Tolong dibaca ya, Sak. Jangan lupa Bismillah dulu." ujar gue mengingatkan.
"Kenapa nggak ngomong aja?"
"Gue nggak tahu harus cerita dari mana, Sak, oke?"
Dia pun menggelengkan kepalanya lalu menuruti ucapan gue. Dalam hati, gue nggak tega. Namun kalau bukan karena janji dibawa sampai mati, gue pun nggak bakal ngelakuin hal ini.
Lima menit berlalu. Jari-jari kisut gue mengetuk-ngetuk meja sambil menunggu Dia selesai membaca Buku jelek gue. Padahal gue baru nulis sekitar tiga puluh halaman, tapi kenapa Dia lama banget bacanya ya?
Namun setelah gumaman gue selesai, perempuan itu mendeham singkat sambil menutup Buku jelek milik gue lalu menandaskan Ice Red Velvet Latte yang tadi gue pesan.
"Lo nggak mau nanya apa-apa?" tanya gue terheran-heran.
"Nggak."
Ketukan jemari gue berhenti. Dahi gue mengerut. Perlahan gue menarik napas panjang lalu berusaha membalas tatapannya. Saat mata kami bertemu, Dia tersenyum tipis kemudian mengalihkan tatapannya.
"Sas, gue cabut duluan." ucapnya sembari beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju pintu kafe.
"Loh, Sak? Tunggu dulu." ucap gue sambil mengekori kepergian perempuan itu. Untungnya sistem di kafe ini langsung bayar, kalau nggak, bisa-bisa gue dipermalukan lewat teriakan-teriakan laknat.
Setelah sampai pada jalanan khusus pejalan kaki, gue kembali menghentikannya, "Sak, dengerin gue dulu,"
Namun usaha gue sia-sia. Dia tetap berjalan santai tanpa peduli dengan panggilan gue.
"Oke. Gue cuma minta sesuatu. Tolong rahasiakan penyakit gue."
Dan Perempuan itu mendadak berhenti meski tanpa membalikkan tubuhnya sedikitpun.
Dari awal gue selalu berharap kalau janji yang pernah gue buat itu, nggak akan ditemui sama orang-orang yang gue kenal. Namun ternyata, rencana Tuhan sebercanda itu.
"Gue nggak akan bilang—tapi kenapa?" balas perempuan itu dengan nada lirih.
"Soal itu—"
"Kenapa lo rahasiain itu semua dari gue? Kenapa Sas? Kenapa?"
Penyakit ini bisa dibilang sudah mengambil setengah hidup gue. Vonis dokter Tsuna memang nggak main-main. Dan hal ini menjadi salah satu alasan terkuat gue, untuk merahasiakannya pada orang-orang terdekat gue, termasuk Dia.
Gue hanya nggak mau, jika mereka berlebihan dalam mengkhawatirkan kondisi gue dan yang pasti hal itu akan sangat merepotkan semua orang.
Terlebih lagi, jika hari kematian itu datang, gue juga nggak mau melihat mereka yang menagisi gue lebih dalam atau penuh dengan rasa penyesalan.
"Mungkin ini terdengar egois—tapi gue pengen, di sisa hidup gue ada lo yang selalu nemenin."
"Jangan bercanda, Sas!" tegas perempuan itu sambil membalikkan tubuhnya lalu berjalan memangkas jarak diantara kami.
Plakkk
Satu tamparan mendarat pada pipi mulus gue. Mungkin memang ini yang pantas gue dapatkan karena, setelah hasil diagnosis itu keluar, gue langsung menghilang atau lebih tepatnya menjauhi Dia tanpa alasan yang jelas.
"Gue nggak tahu harus bahagia atau sedih. Tapi kenapa Sas? Kenapa harus lo?"
"Mungkin, karena gue spesial? Hahaha." gurau gue tanpa balasan sepatah kata darinya, "Sak, bolehkan waktu lo di pakai untuk nemenin gue setiap hari?
—nggak akan lama kok," lanjut gue.
"Nggak Sas,"
"Paling tidak seminggu lima kali deh, bolehkan Sak?
—boleh ya? Gue mohon. Please." ucap gue memaksa.
"Bukan begitu. Lakukan saja apa yang lo mau, entah itu sama gue atau—"
"Jadi maksud lo, Sak? Boleh?"
"Sampai ketemu besok." putusnya tanpa menjawab pertanyaan gue kemudian berjalan menjauhi gue yang masih terkejut dengan ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANKYU!
FanfictionBukan kisah seorang laki-laki tajir, tampan, dan dikelilingi ribuan perempuan. Tetapi, Hanya kisah seorang laki-laki yang penyakitan, banyak menghayal, selera humor rendah, uang pas-pasan, tapi sayang banget sama Bunda dan Mantannya.