Part 1

17.8K 1.1K 201
                                    

Banjarnegara, 10 Januari 2012

Tangan Mayang gemetar saat mencelupkan alat uji kehamilan pada wadah urinenya. Sesaat setelah stick penguji kehamilan diangkat dari wadah, Mayang mulai merapal doa. Jantungnya berdebar kencang sementara mulutnya tidak berhenti komat-kamit berdoa. Ia sangat berharap kalau hasilnya hanya garis satu, sesuai petunjuk yang tadi ia baca di kemasan.

Tidak siap dengan hasil yang akan segera ia dapatkan, Mayang memejamkan mata. Ia berusaha mengatur napas terlebih dahulu, agar tidak pingsan saat hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Setelah merasa lebih baik, Mayang pun membuka mata. Mayang berkali-kali mengucapkan kata Alhamdullilah dalam hati, saat mendapati garis satu pada stick. Syukurlah, ternyata ketakutannya tidak terbukti. Ia tidak hamil! Mayang berkali-kali mengelus dada. Berusaha untuk menenangkan perasaannya sendiri.

Saat ini ia berada di toilet pabrik. Jikalau ia pingsan di sini, rekan-rekan kerjanya pasti akan heboh. Apalagi saat mereka menemukan alat penguji kehamilan di tangannya. Bakalan habislah ia di tangan kedua orang tuanya. Makanya ia berusaha menenangkan diri terlebih dahulu sebelum kembali bekerja.

Baru saja ia bermaksud membuang hasil test ke tempat sampah, sesuatu terjadi. Garis pada stick yang tadinya hanya satu, kini berubah menjadi dua! Mayang kaget. Tanpa sadar  menjatuhkan alat penguji kehamilan di lantai kamar mandi sambil menjerit lirih. Ia shock!

Tok... tok... tok

"Siapa sih di kamar mandi? Masa dari tadi nggak keluar-keluar? Gantian dong!" Suara gedoran pintu menyadarkan Mayang di mana dirinya berada. Mayang menarik napas dua kali sebelum menjawab.

"Sa--saya Mayang, Mbak. Sebentar lagi juga selesai kok." Mayang menyelipkan stick penguji kehamilannya di saku, sebelum membasuh wajahnya. Setelah merasa agak tenang, barulah ia membuka pintu kamar mandi. Di depan pintu kamar mandi, ia disambut oleh kehadiran beberapa rekan kerjanya yang kebelet pipis. Mereka semua mengomelinya karena kelamaan di kamar mandi. Mayang yang masih linglung berjalan menjauh tanpa menyahuti satu pun omelan mereka. Saat ini pikirannya penuh dengan rencana-rencana yang harus segera ia realisasikan. Salah satunya adalah menemui Mahesa di Jakarta.

"Mas, kita tidak boleh melakukan hal seperti ini? Kita 'kan belum menikah, Mas. Dosa?"

"Tidak apa-apa, Mayang. Kita 'kan saling cinta. Lagi pula, cepat atau lambat kamu toh akan menjadi istri Mas. Jadi tidak masalah kalau kita melakukan hal seperti ini sekarang. Kamu tidak usah takut ya?"

"Kalau nanti Mayang hamil bagaimana? Lusa 'kan Mas sudah kembali ke Jakarta."

"Mau kamu hamil atau tidak, Mas tetap akan kembali ke sini secepatnya untuk melamar kamu. Kalau kamu tidak percaya, ini alamat rumah Mas di Jakarta. Kamu boleh menyusul ke rumah Mas, kalau Mas bohong!"

Kalimat demi kalimat yang diucapkan Mahesa dua bulan lalu, terus terngiang-ngiang di telinga Mayang. Karena termakan bujuk rayu Mahesa kala itu, ia pun terlena. Ia menyerahkan mahkota kesuciannya begitu saja pada Mahesa. Ia yakin, Mahesa pasti tidak akan membohonginya. Tapi apa lacur. Dua bulan telah berlalu, namun Mahesa tidak juga kembali ke kampung. Apalagi untuk melamarnya. Dan sekarang ia hamil, sementara Mahesa entah berada di mana.

Keringat dingin kian bermanik di keningnya. Mayang ngeri membayangkan bagaimana kecewanya kedua orang tuanya, saat mengetahui bahwa dirinya hamil di luar nikah. Apalagi orang yang menghamilinya kabur begitu saja. Ia pasti akan diusir oleh kedua orang tuanya karena membawa aib dalam keluarga.

Mayang ketakutan. Dengan keringat dingin membanjir, ia mencoba kembali bekerja. Tugasnya di pabrik ini adalah sebagai buruh pengemas gula pasir. Pendidikan terakhirnya yang hanya kelas 2 SMA, membuatnya hanya bisa bekerja sebagai buruh. Tahun lalu, ia terpaksa berhenti sekolah karena ketiadaan biaya. Ayahnya tidak mampu membiayai pendidikan tiga orang anak sekaligus. Karena ia adalah anak perempuan sementara dua adiknya laki-laki, ayahnya memutuskan sebaiknya dirinya saja yang mengalah. Karena perempuan toh pada akhirnya akan ke dapur juga. Mayang pun mengalah. Ia kemudian melamar pekerjaan di pabrik gula yang tidak jauh dari rumahnya. Hingga hari ini, sudah setahun lebih dua bulan ia bekerja.

Kupu Kupu Kertas(tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang