Mayang yang sedang tidur-tidur ayam, terbangun saat bus Sinar Jaya memasuki terminal bus Kampung Rambutan. Sejenak Mayang termangu. Jakarta. Inilah tempat yang ia tuju. Masa depannya seperti apa, akan ditentukan di sini. Sebenarnya ia gentar. Sewaktu di kampung dulu, ia belum pernah ke kota sendirian. Ia takut dijahati orang. Dan kini, hanya karena seorang laki-laki, ia bahkan berani keluar kota sendirian. Betapa menakjubkan.
Ketika para penumpang lainnya turun dari bus, Mayang pun bergegas membuntuti. Ia berusaha mengingat-ingat cerita Tanti dulu tentang kota Jakarta. Menurut Tanti, pertama sekali ia ke Jakarta dulu, ia juga tidak tahu jalan. Ia hanya memberikan secarik alamat pada supir taksi, dan langsung diantarkan hingga ke depan pintu rumah yang dituju. Menurut Tanti, di Jakarta transportasi itu mudah. Asalkan kita punya uang untuk membayar taksi, pasti kita akan diantarkan sampai alamat yang dituju. Satu hal yang penting. Pilihlah taksi yang berargo. Berbekal cerita Tanti, Mayang telah merencanakan perjalanan selanjutnya. Ia tinggal mencari taksi saja.
Setelah Mayang keluar dari bus, ia kebingungan. Terminal bus Kampung Rambutan ini ramai sekali. Tidak seperti terminal bus di Banjarnegara sana. Selain jumlah manusianya lebih banyak, bahasa yang mereka gunakan juga tidak familiar di telinganya. Di kampungnya sana, bahasa yang lazim ia dengar adalah bahasa Jawa. Sementara di Kampung Rambutan ini adalah campuran antara bahasa betawi dan beberapa bahasa daerah lainnya. Dialek yang mereka ucapkan, sangat asing di telinganya. Saat mendengar orang-orang berbicara saja, Mayang langsung merasa kalau ia telah berada jauh dari kampungnya. Ia juga diserbu oleh para calo yang terus menanyakan tujuannya. Sesuai apa yang diingatnya saat Tanti bercerita dulu, ia pun menolak para calo-calo itu dengan sopan. Demi menghindari para calo yang seperti tidak bosan-bosannya mengikuti, Mayang mempercepat langkah menuju jajaran taksi yang terparkir.
"Mau ke mana, Dek?" Seorang bapak berkemeja batik biru muda menyapa ramah. Melihat ada beberapa bapak-bapak lainnya yang juga berkemeja yang sama, Mayang berasumsi kalau mereka adalah para supir taksi. Berarti tujuannya sudah benar.
"Saya mau ke alamat ini, Pak. Ongkosnya mahal tidak?" Mayang menyerahkan secarik kertas lusuh pada bapak supir taksi. Kertas lusuh itu adalah alamat rumah Mahesa di Jakarta ini. Kertasnya sampai lusuh, karena ia berulang kali membacanya saat masih di rumah ataupun di dalam bus.
"Waduh, alamat ini jauh banget dari sini, Dek. Ongkosnya mahal. Seratus ribuan bakalan habis ini," imbuh sang supir. Mayang membelalakkan mata. Seratus ribuan itu artinya seratus ribu lebih. Sementara ongkosnya dari Banjarnegara ke Jakarta ini saja hanya sembilan puluh ribu rupiah. Uang yang tersisa di sakunya hanya tinggal seratus lima puluh ribu rupiah. Apakah cukup untuk membayar ongkos taksi? Mayang ragu.
"Jadi tidak naik taksinya ini, Dek?" tanya sang supir tidak sabar.
"Uang saya hanya ada seratus lima puluh ribu rupiah, Pak. Saya takut kalau uang saya tidak cukup untuk membayar ongkos," terang Mayang jujur.
"Gampang kalau masalah itu, Dek. Saya rasa kalau seratus lima puluh ribu itu cukup. Tapi kalaupun kurang, 'kan Adek bisa minta sama yang punya rumah nanti." Mendengar usul sang supir, Mayang seperti menemukan titik terang. Iya juga. Tidak mungkin Mahesa tidak mau membayar kekurangan ongkos taksinya.
"Kalau begitu, ayo kita berangkat sekarang, Pak," seru Mayang semangat. Memikirkan Mahesa, selalu membuatnya bahagia. Terkadang ia tidak mengerti dengan perasaannya sendiri. Suasana hatinya naik turun jika berhubungan dengan nama Mahesa. Ia bisa gembira sekaligus sedih di saat yang bersamaan. Cinta telah membuat hatinya jungkir balik dan logikanya tumpul. Beberapa menit kemudian ia telah berada di dalam taksi yang dingin dan empuk. Penumpangnya pun hanya dirinya seorang. Ia tidak harus berdesak-desakan seperti angkot omprengan di kampungnya. Pantas saja harga taksi ini mahal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kupu Kupu Kertas(tamat)
RomanceNotes. Untuk pembelian PDF Original hubungi 082165503008 Admin Nana. Mayang Kania Putri, kehilangan masa depannya pada usia 17 tahun. Ia hamil dan ditinggalkan Mahesa Heryanto, mahasiswa yang tengah magang di kampungnya. Di hari yang sama, Nawasena...