Prolusion

26 5 1
                                    

Helaan napas frustrasi memenuhi setiap sudut sepi sebuah kamar. Berasal dari seorang pria yang masih tetap mencoba peruntungan untuk panggilan yang kesekian kali. Jika bisa meminta, rasanya hampir setiap orang punya permohonan yang sama. Sebuah kesempatan kedua. Tentu saja, setiap orang berhak akan hal itu. Namun, ada sebagian dari mereka yang―meskipun berusaha sekeras mungkin―tidak dibiarkan menerima dan memilikinya. Seharusnya pun, pria ini tahu.

"Nomor yang anda tuju sedang dialihkan..."

Bahwa, pecahan kaca tidak akan memiliki kesempatan untuk menjadi kembali utuh.

---

Ting!

"Selamat datang! Silakan orderannya, kak?"

"Taro Latte satu, take away ya."

"Siap, ditunggu sebentar ya kak. Ada tambahan lain?"

"Gak, thank you."

Prang!

"Jov! Udah kali, habis itu gelas lo pecahin tiap hari!"

Setelah menyelesaikan orderan Taro Latte, Dean mendapati Jovan yang lagi-lagi menelungkupkan kedua tangan di atas wastafel bersamaan pecahan gelas yang berserakan. Ia melirik sekilas pada Andre.

"Naik deh, Jo. Ini biar gue yang urus."

"Gak usah lo repot-repot amat ngurusin manusia kayak gini, Yan. Bosen gue tiap hari ada aja korban gelas. Lo kalo belum bisa balik kerja, cuti aja Jov jangan kayak gini. Gak sehat, lo."

Suara Andre memancing kilatan emosi di mata Jovan saat ia akhirnya menengadah.

Ia kemudian melepas apron dan menaiki tangga ke ruang istirahat karyawan di lantai dua. Dean menghela napas sambil merapikan pecahan gelas dengan hati-hati.

Belakangan ini ada banyak hati yang patah, sumber air mata yang tiba-tiba melimpah, hingga unstable emotion yang tak tentu arahnya. Dean tersenyum kecil, menyayangkan. Para laki-laki yang katanya good looking and high quality di tempatnya ini entah mengapa memiliki sisi kelamnya masing-masing.

Sepeninggal Jovan, mereka tetap melanjutkan pekerjaan sampai working hour selesai. Namun sebelum last order yang akhirnya diambil alih oleh Dimas, hari ini harus semakin tough dengan kedatangan seorang wanita cantik yang membuat sorot mata Dean berubah dingin.

"Hai, Yan. Can we have a talk?"

Dimas menepuk bahu Dean melihat bos sekaligus sahabatnya belum bereaksi atas pertanyaan si wanita. Ia menyodorkan nampan berisi dua cangkir teh pada Dean.

"Jangan lost control, bro. Cukup Jovan aja hari ini."

Dean mendengus kemudian meraih nampan dan berjalan memutari konter. Baru saja memikirkan untuk berbicara dengan Jovan, sepertinya dia yang justru akan membutuhkan teman bicara.

Setelah menempati kursi di sisi luar kafe, Dean hanya bersedekap tanpa ingin bersuara.

---

"Is this yours?"

"Ah, ya. Thank you."

"It's okay. Radean Leo."

Wanita itu mengerjap pelan sebelum membalas uluran tangannya.

"Dyana Rahayu. Sekali lagi makasih banyak ya. Terlalu sibuk sama ponsel, gue jadi gak perhatiin dompet jatuh."

Dean mengangguk. "Sering ke sini?"

"Lumayan. Lo sendiri, dari sana juga?"

"Habis ketemu teman."

Dyana tersenyum menanggapi. "Duluan ya, Radean."

Deru napas Dean memburu tepat ketika ia membuka mata. Keringat membanjir diseluruh tubuh. Matanya mengerjap mengelilingi setiap sudut kamar. Selalu seperti ini, seharusnya ia menghindari perempuan itu. Seharusnya, ia menutup akses agar kejadian seperti ini tidak pernah terulang.

Dua tahun.

Dua tahun ia susah payah bangun dari mimpi buruk yang hampir setiap malam hadir. Mengutuk kebodohan yang pernah ia lakukan pada cintanya. Hingga pernah berpikir untuk selamanya saja menghilang.

Seharusnya, ia tak boleh lagi merasakan kalut akibat mimpi ini. Sebuah janji sudah ia ucap pada dirinya untuk belajar menerima kesalahan dan penyesalan yang menggelayuti.

Dean meraih ponsel dari dalam laci nakas, jemarinya sudah lincah mencari satu nomor di kontak, kemudian mendialnya. Entah, entah harus berapa kali lagi ia mendial nomor itu untuk sebuah closure yang selalu ia harap. Entah, sampai berapa lama lagi ia harus menunggu panggilannya tak berakhir pada suara operator.

Namun, selama apapun itu, ia akan disana. Dean butuh sebuah jawaban sebelum memutuskan untuk selama-lamanya mundur.

.

.

.

See you on the next chapt. Thankyou for coming and reading this.

(re) callingWhere stories live. Discover now