Blurry Memories

17 4 0
                                    

Notes: all italic words are to explain something in the past. Don't be confused.

Sore ini, suasana kampus lebih lengang. Dean memutuskan untuk segera menuju parkiran sebelum langit berubah semakin gelap. Ia melirik angka pada jam dipergelangan tangan. Hari jumat dan bukan jadwalnya masuk kerja. Baru saja ingin mengarahkan motornya menuju kontrakan, ponselnya bergetar.

Andrian, teman satu kontrakannya.

"Yo, ndre?"

"Dimana lo?"

"Kampus, mau balik nih. Ada apaan?"

"Jangan dulu pulang deh Yan. Vigo pulkam, gak ada yang masak. Cabs makan diluar aja yuk?"

"Oh, balik dia? Boleh, dimana nih mumpung gue belum jalan?"

"Tau tuh, abangnya lamaran katanya. Pecel ayam deket Rumah Sakit Ananda deh."

"Oke. Gue jalan, lo juga on the way ya!"

"Yoi, ketemu disana Yan!"

Selama menempuh studi diluar kota, Dean menyewa sebuah rumah kontrakan bersama dua temannya. Andrian, teman satu SMA dan Vigo teman satu organisasi yang belum lama ini ikut tinggal. Daripada ia harus tinggal dalam satu kamar seorang diri, Dean lebih menyukai tinggal beramai-ramai. Meminimalisir kesepian, dan memudahkan ketika butuh bantuan.

Diantara mereka bertiga, Vigo adalah seseorang yang paling baik menggunakan dapur. Lelaki itu seperti sudah bersahabat dengan beberapa bahan masakan dan bumbu-bumbu, sampai bisa menghasilkan sesuatu yang bukan hanya layak dimakan. Berhubung dia memutuskan pulang kampung dan dipastikan akan lebih dari tiga hari, disinilah Dean dan Andre menuntaskan kebutuhan perut.

"Gila lo, habis tuh?" Andre melirik porsi makan Dean yang agaknya dua kali lipat.

"Tinggal bungkus kalo masih sisa. Lumayan kan feeding my friends yang kalo malem udah kayak zombie ngacak-ngacak kulkas."

"Sembarangan banget si kampret! Lagian-,"

"Permisi, kita duduk disini boleh ya mas?"

Belum sempat Andre menyelesaikan kalimatnya, sebuah suara menginterupsi. Seorang perempuan dengan rambut sedikit acak tiba-tiba saja sudah menempati kursi dihadapan mereka.

Andre hanya mengedikan bahu singkat, tak lagi melanjutkan ucapan. Sementara Dean menatap sekilas si perempuan sebelum mengangguk kecil dan melanjutkan makan.

"Baru tadi kita kerjain pemeriksaan widal*, eh ini lo ngajakin makan disini. Dikantin aja kenapa emang sih? Disini belum tentu bersih plus sehat makanannya, Dee."

Samar-samar terdengar teman si perempuan berbisik, namun diabaikan karena beberapa piring berisi ayam dan kol goreng sudah tertata diatas meja.

Dean melirik si perempuan yang saat ini asik melahap makanannya.

Cantik.

---

"Maaf kalau sampai detik ini aku bahkan masih mengganggu hidup kamu, Yan. Aku diminta Mas Lukman nemuin kamu. Ada sesuatu milikmu yang sepertinya tertinggal di apartemen Dee. Kamu mau ambil sendiri, atau bagaimana?"

Dean mengernyit berusaha mengingat. "Aku gak merasa meninggalkan sesuatu."

"Yan, tolonglah. Disana pun sudah gak ada Dyana. Kami sebagai keluarganya merasa aneh. Bukankah sebaiknya kamu juga menyelesaikan segera urusanmu yang berkaitan dengan kami?" wanita dihadapan Dean itu nampak menghembuskan napas kesal.

"Berulang kali Tante Rinai bilang, kita bisa Yan memperbaiki hubungan ini. Kamu harus dengar dulu dari sisi Mas Lukman, supaya-,"

"Mutia, maaf. Aku gak tertarik untuk bahas masalah itu lagi. Terlebih sama kamu," bangkit berdiri, Dean membuang sebagian pandang menghindari tatapan wanita di depannya.

"Dean...," Mutia menghela napas dalam. Pria ini sungguh keras kepala. "Oke, kamu bebas kalau mau datang kesana. You still remember the passcode, right?" Ia maraih tas tangan kemudian bersiap beranjak.

"Oh and, feel free to come for Kiana. She asks about you, sometimes," tambah Mutia, sebelum benar-benar melangkah keluar dari kafe. Membuat Dean kembali duduk dengan cangkir-cangkir mereka yang bahkan tidak sama sekali berkurang isinya.

"Belum ada mbak, kalau untuk merk itu. Mungkin mau coba merk lain?"

"Oh gitu ya, gak dulu deh mas. Itu saja ya, jadi berapa?"

"Delapan puluh lima, lima ratus mbak."

"Terimakasih."

"Dyana?"

Merasa seseorang menyebutkan namanya, Dyana menoleh mencari. Ia menemukan seorang laki-laki berkacamata menatapnya ragu-ragu. Siapa, ya? Kayak pernah lihat, deh.

"Iya?"

"Ah, benar ternyata. Mbak yang waktu itu dompetnya jatuh di depan kafe, kan ya?"

Dyana mengerjap pelan, lalu tersenyum ramah. "Mas yang nemu dan kasih dompet saya itu, ya? Red-redan..,"

"Radean, mbak," laki-laki itu tersenyum kalem.

"Ah itu, mas Radean. Maaf ya, saya suka susah ingat nama orang."

Dyana tertawa canggung. Mereka bergeser ke sisi kanan pintu apotek sementara Dean sibuk menenangkan degup jantung. Iya, laki-laki itu gugup.

"Santai, mbak. Nama saya juga gak harus diingat-ingat kok," Dean tertawa kecil. "Jarak apotek ke kafe lumayan jauh padahal ya, mbak. Tapi malah bertemu laginya disini."

"Saya kos gak jauh dari sini memang, mas. Ini lagi cari vitamin, eh ternyata yang biasa sedang kosong. Kalau mas Radean cari apa?"

Dean menggoyangkan plastik putih yang berisi beberapa obat. "Vitamin juga mbak, buat ibu saya."

Dyana mengangguk, lalu pamit mendahului.

"Mari mbak, hati-hati tasnya. Khawatir nanti ada barang yang jatuh lagi," canda Dean. Tawa spontan Dyana menguar, mengundang senyum simpul dan malu-malu milik Dean.

Suaranya nyenengin, banget!

"Siap mas! Gak akan ada yang jatuh sih, kayaknya."

"Oke-oke. Hahaha."

I'll do something if we meet again accidentally, Dyana.

.

.

.

*Pemeriksaan Widal: Merupakan salah satu cara untuk mendiagnosis penyakit tifus melalui proses pemeriksaan darah di laboratorium. Ditetesi dengan bakteri Salmonella yang sudah dimatikan dalam bentuk antigen O (badan bakteri) dan antigen H (ekor atau flagel bakteri). Selanjutnya diencerkan sebanyak puluhan hingga ratusan kali untuk bisa diketahui hasilnya. Standar pembacaan hasil tes ini bisa bervariasi di berbagai wilayah tergantung pada tingkat endemis dari penyakit tifus itu sendiri.

If you found any wrong explanation about widal test, kindly let me know ya. See you on the next chapt and thankyou for coming and reading this. Stay healthy!

(re) callingWhere stories live. Discover now