Naina akhirnya bisa mengajak Reigha untuk mengobati lukanya. Meski masih dingin dan kaku, setidaknya pemuda itu tidak lagi menolak seperti sebelumnya.
Saat Naina dengan hati-hati mengganti perban di tangannya, Reigha hanya duduk diam, membiarkan Naina merawatnya tanpa perlawanan. Tatapannya tetap datar, tapi tidak ada lagi sorot kemarahan seperti sebelumnya.
"Jangan ditekan terlalu keras," gumam Reigha akhirnya, membuat Naina tersenyum tipis.
"Aku tahu," jawabnya pelan.
Meskipun hubungan mereka belum sepenuhnya pulih, setidaknya sekarang Naina tahu bahwa keadaan sudah mereda. Dia tidak ingin melakukan kesalahan lagi. Tidak ingin membuat Reigha menjauh lagi.
"Terima kasih sudah membiarkanku merawatmu," bisiknya tulus.
Reigha hanya menghela napas ringan, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Jangan membuatnya sia-sia."
Naina tersenyum kecil. "Aku tidak akan."
Naina sadar, meskipun Reigha mulai mereda, bukan berarti dia akan melupakan semuanya begitu saja. Pemuda itu bisa saja mengungkit kejadian ini sampai kapan pun, mungkin bahkan sampai mereka tua nanti.
"Aku harus siap, ya?" Naina bertanya, setengah bercanda, sambil merapikan perban di tangan Reigha.
Reigha menoleh pelan, ekspresinya tetap datar, tapi ada kilatan tajam di matanya. "Tentu saja. Jangan kira aku akan melupakannya begitu saja."
Naina tersenyum miris. "Aku tahu."
Reigha mendecak pelan. "Bagus, setidaknya kau sadar diri."
Meskipun Reigha masih sekecewa itu, setidaknya dia tidak mengusir Naina. Itu saja sudah cukup untuk sekarang.
Reigha melirik sekilas ke arah Naina yang tiba-tiba merebahkan diri begitu saja. "Kau menonton atau tidur?" tanyanya datar, tapi tangannya tetap bertumpu di paha, tidak mengusir Naina.
Naina tidak menjawab, hanya semakin menggeser kepalanya, mencari posisi yang lebih nyaman. Aroma tubuh Reigha yang wangi semakin menenangkan, membuatnya semakin tenggelam dalam rasa nyaman itu.
Reigha mendesah pelan. "Jangan salah paham. Aku hanya tidak ingin kau mengeluh lehermu pegal besok."
Naina tersenyum tipis, matanya masih terpejam. "Ya, ya... apa pun alasanmu."
Reigha hanya mendecak pelan tapi tetap membiarkan Naina di posisinya. Di luar, hujan masih turun deras, tapi di dalam, ada kehangatan yang tidak bisa dijelaskan.
Reigha sebenarnya ingin menyingkirkan Naina, tapi tubuhnya seakan tidak bisa bergerak. Matanya tetap tertuju ke layar televisi, tapi pikirannya justru berantakan.
Kepala Naina yang menempel erat ke perutnya membuatnya merasakan setiap hembusan napas gadis itu, hangat dan teratur. "Apa dia sengaja?" pikir Reigha salam hati, tapi wajahnya tetap datar, menutupi kegugupannya.
Naina, yang masih memejamkan mata, bergumam pelan, "Kau wangi sekali..."
Reigha langsung merasakan panas di wajahnya, tapi dia tetap menjaga ekspresinya. Dengan suara datar, dia berkata, "Jangan berbicara omong kosong."
Tapi Naina hanya terkekeh pelan, jelas menikmati situasi ini. "Aku serius..."
Reigha berdeham pelan, mencoba mengalihkan fokusnya ke film. Tapi bagaimana bisa fokus kalau gadis yang ia cintai tidur nyaman di pangkuannya, membuatnya salah tingkah tanpa bisa berbuat apa-apa?
Reigha menatap wajah Naina yang tertidur lelap di pangkuannya. Nafas gadis itu teratur, matanya tertutup rapat, dan bibirnya sedikit terbuka—terlihat benar-benar nyaman seolah tempat ini memang diciptakan untuknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Reighaard
Teen FictionNaina sudah lelah jadi bulan-bulanan para pembully di sekolah. Hingga suatu hari, Reigha, siswa baru yang misterius dan dikenal suka berkelahi, muncul bak pahlawan dalam diam-menyelamatkannya dari perundungan yang hampir membuatnya menyerah. Dingin...