Oleh : Syazwatint_
"Selamat ulang tahun…. kami ucapkan…. selamat panjang umur …kita kan doakan…”
Begitulah nyanyian teman-teman sebaya adikku yang memenuhi ruang tamu siang ini. Hari ini adikku merayakan ulang tahunnya yang ke-10. Sanak saudara juga turut hadir meramaikan suasana bahagia ini. Tak lupa kue ulang tahun berwarna coklat dipamerkan dihadapan semua orang-orang. Ibuku selalu berada disebelah adikku yang tak bisa berhenti menatap kue ulang tahunnya yang dihiasi nyala liin.
Sedangkan aku, tak pernah melepas pengawasanku dari pintu keluar masuk utama rumah. Aku sedang menantikan seseorang yang seharusnya datang hari ini. Tapi sampai detik ini dia belum juga menampakkan batang hidungnya. Aku tahu dia sangat sibuk dengan pekerjaannya. Tapi setidaknya dia bisa meluangkan waktu untuk anak bungsunya. Ya, orang yang kutunggu adalah Ayahku.
“Kak, Ayah belum datang?” tanya adikku mulai mencemaskan kehadiran beliau.
“Sudah, kamu jangan fikirkan hal itu. Nanti kakak yang tunggu Ayah. Ana fokus saja sama acara ulang tahunmu.” jawabku menenangkan adikku.
Ibuku terlihat pergi meninggalkan adikku untuk menghubungi Ayah. Aku berjalan mendekati adikku dan menggantikan posisi Ibu sementara. Tak lama Ibuku pun kembali dengan raut wajah yang mengkhawatirkan. Aku enggan menanyakan apa yang terjadi pada Ibu. Tapi hatiku tak akan tenang sebelum menanyakan hal tersebut. Aku pun perlahan mendekati Ibu dan menanyakan apa yang membuatnya murung.
“Bu, Ayah jadi datang kan?” tanyaku cemas.
“Ayah sibuk. Ayah bilang dia tidak yakin akan sampai tepat waktu disini.” jawabnya.
“Ana, tiup lilin dulu ya. Nanti kita potong kuenya sama-sama.” sambung ibuku.
“Iya, Bu.” jawab adikku.
1……2……3……
Lilin ulang tahun yang akan ditiup Ana tiba-tiba bergetar hebat. Bukan hanya itu, semua benda yang ada didalam rumah juga bergetar, bergerak perlahan meninggalkan tempatnya. Tamu undangan berteriak seraya berlari menyelamatkan diri. Ana pun ikut berteriak. Aku dan Ibu masih binggung dengan apa yang terjadi saat ini.
“Ibu, ini ada apa ya? Gempa?” tanyaku khawatir pada Ibu.
“Mungkin ini gempa. Kita harus cepat keluar dulu dari rumah.” jawabnya.
Ibu langsung memeluk Ana dan berlari meninggalkan rumah. Sementara aku mengikuti mereka dari belakang. Tapi langkahku terhenti saat melihat salah satu teman Ana menangis tak jauh dari tempatku berdiri. Tanpa berfikir panjang, aku berlari menghampirinya.
“Ayo kita keluar dari sini.” ucapku seraya menggenggam tangannya.
Aku berlari meninggalkan rumah sambil menarik tangan anak kecil yang menangis tadi. Semua orang berebut untuk keluar dari rumah. Dan aku terjebak diantara kerumunan orang itu bersama anak kecil tadi. Aku binggung harus berbuat apa agar kami semua bisa keluar dengan selamat. Getaran tersebut tiba-tiba berhenti.
Karena pintu utama sesak dan susah untuk dilewati, akhirnya aku memutuskan untuk keluar lewat pintu belakang. Aku kembali berlari meninggalkan kerumunan orang-orang itu. Dan tentu saja bersama dengan anak kecil itu. Jarak pintu utama dan pintu belakang yang cukup jauh. Aku memutuskan untuk mengendong anak kecil itu dan berlari sekuat tenaga.
Gempa kembali terjadi, namun kali ini getarannya lebih terasa dari sebelumnya. Semua benda mulai berlomba-lomba mencapai lantai. Dinding rumah mulai terlihat garis retakannya. Aku takut jika rumah ini runtuh menimpaku dan anak kecil ini. Benda besar juga mulai berjatuhan. Tak terasa air mataku jatuh disela larianku. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain berlari mencari pintu keluar.
Samar-samar pintu keluar yang sedari tadi aku kejar mulai terlihat. Aku merasa ada harapan untukku dan anak ini menghirup udara bebas diluar sana. Aku hampir mencapai pintu tersebut, namun tiba-tiba lemari besar yang berada tepat disebelah pintu itu terjatuh dan menghalangi pintu. Langkahku terhenti dan begitu juga dengan harapanku. Gempa kembali berhenti.
Ingin rasanya aku mengangkat lemari besar ini dan berlari keluar. Tapi tenagaku tentu saja tidak dapat menggerakkannya walau hanya sedikit. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Anak kecil ini menangis dipunggungku. Aku merasa bersalah karena telah membawanya kemari bersamaku. Harusnya aku tetap disana dan menunggu semua orang keluar.
“bagaimana ini? Ya Tuhan, lindungilah kami.” batinku.
Sedih rasanya melihat anak ini yang sedari tadi menangis. Aku benar-benar merasa bersalah pada anak ini. Ibunya pasti sedang menangis mencari anak ini. Aku harus memikirkan cara untuk keluar dari sini. Kasihan anak ini, aku tak tega melihatnya terus-menerus menangis seperti ini.
Brrrruuuukkkkkk!!!!!!!
Tiba-tiba terdengar suara gebrakan pintu dari luar. Aku segera memalingkan pandanganku ke pintu tersebut. Aku terkejut dan begitupun dengan anak kecil yang bersamaku.
“Rasya!!!!!” teriak dari luar pintu.
“Kamu dengar suaraku, tidak?” terdengar samar.
Aku segera mendekati pintu itu dan berteriak agar seseorang diluar sana dapat mengetahui keberadaanku.
“Aku disini!!!!! Kau dengar suaraku?!?!” teriakku seraya mengetuk pintu itu dengan keras.
“Rasya!!!!!!!” sahutnya.
“Ayah!!!!!!!” ternyata seseorang yang diluar sana adalah Ayahku.
“Rasya, kau baik-baik saja?” tanyanya.
“Iya, Ayah. Tapi aku tidak bisa keluar dari sini. Pintunya dihalangi lemari, Ayah.” Jawabku.
Aku terdiam agar dapat mendengar suara Ayah dengar jelas. Namun, suaranya tak terdengar lagi. Aku khawatir jika dia juga tak bisa mengeluarkanku dari sini. Aku kasihan dengan anak kecil yang sejak tadi bersamaku. Anak kecil ini ternyata sudah tak menangis lagi. Aku sedikit merasa lega.
“Rasya!!!!!” teriak Ayah lagi.
Teriakannya kali ini terdengar sangat jelas. Aku mencari dari mana asal suara Ayah. Dan aku menemukan wajah Ayah yang terlihat dari luar jendela. Aku berlari menghampirnya dan tak lupa membawa anak kecil itu.
“Ayo, keluar lewat jendela ini.” ucapnya seraya berusaha membuka jendela dari luar.
“Iya, Ayah.” aku membantunya membuka jendela ini.
Dengan sekuat tenaga aku mendorong jendela ini agar terbuka dan keluar dari sini. Tiba-tiba gempa terjadi kembali. Retakan di dinding juga mulai bertambah. Benda-benda pun sudah tak jelas lagi dimana letaknya. Aku tidak berhenti mendorong jendela ini. Anak kecil ini pun ikut membantuku mendorongnya. Dan akhirnya jendela ini terbuka. Aku langsung mengangkat anak kecil ini terlebih dahulu keluar dri tempat ini. Kemudian anak kecil itu berlari kearah ibunya.
Setelah anak ini aman, aku berusaha untuk keluar melalui jalan yang sama. Tak butuh waktu lama, akhirnya aku keluar dari tempat yang berbahaya itu. Aku menangis sendu dipelukan Ayah.
“Sudah. Jangan menangis lagi. Ayah tahu kau anak yang kuat.” ucapnya menenangkanku.
Dari kejauhan aku melihat ibu dan adikku berlari menghampiri kami sambil menangis.
“Terima kasih, Ya Tuhan. Hampir saja aku kehilangan keluargaku.” batinku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Birthday Shock by Syazwatint
القصة القصيرةShort story by Nurul Syazwatika berjudul Birthday Shock. Authorians' #1 Theme Abstract and Short Story Challenge. Premis : "Pukul 12 tengah malam tanah tiba-tiba berguncang hebat selama 1 detik. Getarannya membangunkan semua orang yang tertidur dan...