—Sungjin
Pepatah mengatakan seseorang yang tertawa paling keras dan mempunyai senyum yang hangat sesungguhnya dialah yang mempunyai luka yang mendalam. Pepatah yang sangat menggambarkan seorang Sakha Januar. Sosok yang jika ia membangunkan bulan sabit yang tertidur di bibirnya akan membuat orang-orang disekitarnya terpana, sosok yang bersinar diantara manusia disekitarnya. Ia seringkali menjadi tempat bertumpu bagi teman-temannya. Sosok yang sempurna, tetapi dibalik sosok yang begitu paripurna tersimpan sosok Sakha yang rapuh, rentan seperti istana pasir.
Sakha yang sebegitu kokoh bisa dengan sekejap hancur layaknya istana pasir yang tersapu ombak. Saat malam tiba ia lebih sering menangis, terduduk diam menatap kosong meja kerjanya atau menenggelamkan diri di tumpukkan buku untuk melupakan bebannya saat ini.
Semesta seolah ingin bermain dengan takdirnya, dunianya seakan di putar balik dengan mudah, semudah membalikkan telapak tangan. Hari ini ia harus mengubur dalam-dalam harapan yang ia pupuk selama ini, pasalnya project yang ia dambakan dan sedang ia perjuangkan diambil alih oleh teman karibnya dengan alasan yang tidak logis.
Murka? sangat, kecewa? jangan tanyakan hal itu, Sakha benar-benar hancur kala itu tetapi siapa dia? ia tidak bisa berkata apa-apa saat atasannya memutuskan hal yang membuatnya ingin mengeluarkan sumpah serapah. Diperparah saat sore tadi, selepas ia melangkahkan kaki keluar dari kantornya ia mendapat kabar dari asisten rumah tangganya bahwa orang yang sangat ia hormati dan cintai sedang tertidur pulas di ruang ICU.
Jantungnya seakan ingin jatuh dari tempat semestinya ia menempel, raut wajahnya menjadi pucat. Ia dengan tergesa-gesa berlari menuju mobilnya melajukan mobilnya ke tempat ibunya di rawat. Ia sudah merasa cukup lelah, bahunya sudah terlalu renta untuk memikul tanggung jawab dan bebannya.
Beberapa menit ia habiskan menembus kejamnya lalu lintas sore hari, sampai akhirnya mobilnya berhasil memasuki area parkir sebuah gedung putih, pepohonan menghiasi bagian kiri dan kanan tempat itu, cukup asri.
Begitu memasuki gedung itu aroma antiseptik dan obat-obat lain menyapa indra penciumannya. Dengan tergopoh-gopoh ia menghampiri resepsionis.
"Permisi atas nama Ibu Rahma ada di kamar berapa ya?" tanyanya.
Tidak begitu lama ia sudah mendapatkan informasi yang ia butuhkan. langkahnya begitu terburu-buru. Setelah sampai di bagian ruang ICU— mengurus beberapa perizinan dan membiarkan asisten rumah tangganya pergi— ia membuka pintu ruangan ibunya dengan hati-hati.
Terakhir kali ia kemari, ia menyaksikan ayahnya harus ditempeli dengan bebargai alat yang ia sendiripun tidak mengerti apa nama alat-alat itu.Pada saat itu ia hanya seorang anak muda yang mendapat kabar bahwa ayahnya harus dipindahkan ke ruang ini untuk mendapat perawatan yang lebih intensif. Ia memperhatikan ibunya lekat-lekat wajah terlihat sangat damai dalam lelapnya. Bunyi alat Bedside Monitor² menjadi satu-satunya teman dalam sunyi.
Pikirannya mulai terbang melayang ke masa lalu, disaat semuanya mendadak menjadi huru-hara, riuh rendah suara perawat dan dokter meneriakkan kode biru setelah keluar dari ruangan ayahnya. Kode biru Asthma begitu yang ia dengar, sisanya tim kode biru sudah menangani ayahnya dan menarik ia menjauh dari ruangan ayahnya. Begitu pintu ruangan ditutup ia tidak akan menyangka itulah terakhir kali melihat ayahnya. Sesaat, bulir-bulir airmatanya terjatuh.
Beribu pertanyaan muncul di pikirannya seperti Apakah peristiwa itu akan terjadi kembali? Apakah akan ada secercah harapan untuknya?
Pertanyaan serupa lainnya memenuhi kepalanya, menusuk ulu hatinya ia tidak sanggup jika harus kehilangan kembali.
Disela tangisnya bibirnya tidak lelah memanjatkan segala doa agar Tuhan mau berbelas kasih kepadanya, dengan memberikan setitik kabar baik untuknya atau jika tidak, ia hanya berharap ada orang yang dengan sukarela merentangkan tangan dan menariknya kedalam dekapan. Karena Butterfly hug¹ yang ia lakukan sudah terasa percuma untuk keadaannya sekarang.
Selang beberapa waktu saat ia masih dengan khusyuk memanjatkan doa, ada satu suara lain selain alat yang sedari tadi bersenandung. Ia masih belum mempercayai asal suara tersebut, dengan cepat ia buang pikirannya bahwa ada manusia selain ia dan ibunya disini.
Namun sayup terdengar untuk kedua kali suara itu memanggil namanya. Dan ternyata tuhan dengan segala kemurahan hatinya mengabulkan doanya, ia melihat sosok perempuan yang selalu bersamanya akhir-akhir ini. Perempuan yang belum lama ini menjadi tempat bersandarnya, di depan perempuan ini lah Sakha bisa menjadi sosok Sakha yang sebenarnya.
Perempuan itu berjalan menghampiri Sakha, menariknya kedalam dekapannya. Jika bisa digambarkan sosok Sakha sekarang, wajahnya terlihat begitu lelah, kantung matanya yang menghitam bekas menangis, punggungnya yang biasa ia pasang tegap sekarang terlihat loyo.
Di dalam dekapan perempuan itu Sakha melepaskan semua yang tertahan didalam dirinya.
"Mas, jangan semua di tahan sendiri, gapapa kok untuk jadi rentan bukan salah mas, jangan takut. Mungkin semuanya keliatan di luar batasan mas, tapi seenggaknya mas bisa cari aku atau aku yang bakal cari mas karena buat aku, mas itu berharga. Terimakasih sudah bertahan sampai sekarang"
Ucapan perempuan itu terasa seperti sihir bagi Sakha, hatinya yang bergemuruh di selimuti badai sekarang perlahan mereda berganti dengan matahari yang bersinar hangat. Perempuan itu mengusap lembut puncak kepala Sakha untuk memberikan rasa nyaman.
"Jangan lupa, mas ga lagi harus butterfly hug, mas punya aku sekarang." lanjutnya
Sakha mendekap sang dara dengan erat. Ia sangat bersyukur bahwa sekarang setidaknya ia tidak menangis sendiri.
Sakha Januar, ia mungkin seperti istana pasir, yang mampu hancur dalam sekejap mata, tetapi untuk sekarang ia tidak perlu takut bahwa ia akan hancur dalam waktu lama karena sekarang ada tangan yang bersedia membantunya menjadi istana yang kokoh dan indah. Berapa kalipun ia hancur tangan itu tidak akan pernah lelah membangun ulang istana pasir tersebut.
¹Butterfly hug : metode terapeutik untuk membantu seseorang merasa santai dan tenang. ²Bedside Monitor : alat yang digunakan untuk memonitor vital sign pasien, berupa detak jantung, nadi, tekanan darah, temperatur bentuk pulsa jantung secara terus menerus
KAMU SEDANG MEMBACA
The Book Of Us : Memories
General FictionManusia, bukan alat maupun tempat, namun perajut memori. Oneshoot Collection(s) of DAY6