1. Bidadara

36 2 0
                                    

Happiness fill my lungs for the first time in a long time, and it all because a glance of you

•••

"Tapi saya cuma telat dua menit, pak!", Luna ngotot dengan nafas pendek-pendek.

"Tetep aja neng, mau semenit kek, dua menit kek, yang namanya telat mah telat", ketus Pak Ubed sang satpam.

Cemberut, Luna diarahkan ke barisan siswa-siswi yang tidak memenuhi syarat masuk sekolah. Ada siswa yang kaos kakinya warna merah, ada yang celananya digulung hingga betis, sampai yang salah seragampun ada.

Setelah misuh-misuh mengeluarkan sumpah serapah untuk mamang ojol yang tidak bisa baca map, hati Luna jadi plong. Ia bisa tersenyum lebar saat guru piket mengambil gambarnya yang nantinya akan diserahkan ke grup WhatsApp guru-guru bahkan kepala yayasan sekalipun hingga berhilir ke grup perwalian kelas.

Sempat-sempatnya bergaya mengacungkan jempol.

Guru piket geleng-geleng. Peduli setan, gak ada yang bisa menghancurkan mood bagus Luna hari ini. Gak ada. Bahkan saat ia harus turun naik gedung tiga lantai untuk secarik tanda tangan wali kelaspun senyumnya tidak luntur oleh keringat.

Dibawa positif, anggep aja olahraga pagi

Saat nafasnya terengah-engah pun ia masih sempat bersenandung kecil, meski pada akhirnya terbatuk (sepertinya asma Luna kambuh) ia tetap tersenyum lebar.

Membuka pintu kelas dengan label XI IPA 1 diatasnya, Luna ambruk. Bukan, bukan karena asma, tapi seekor siluman titan baru saja menarik knop pintu secara bersamaan dengannya.

Beruntung sebelum bibirnya mencumbu lantai, sang titan menangkapnya dengan tangkas. Luna curiga kalau sang titan adalah pemenang acara benteng takeshi musim lalu.

Tangan besarnya masih mengcengkram lengan mungil Luna saat mata keduanya bersitatap. Udara menyublim dan Bumi seakan berhenti berputar bagi keduanya.

Satu detik. Dua detik. Tiga detik.

Luna menunggu laki-laki ini mengalihkan pandang lebih dulu.

Empat detik. Lima detik.

Kok gak berpaling juga ya? Ini mau adu melotot apa gimana?

Enam detik. Tujuh detik. Delapan detik.

Luna baru sadar kalau sebutan titan sangat tidak cocok untuk pria dihadapannya ini. Jika ditantang untuk menulis novel, ia sanggup menggarap ratusan halaman hanya untuk mendeskripsikan betapa indah makhluk dihadapannya ini.

Tampan, kekar, menawan, manis, ganteng, kekar lagi—kata kekar harus ditulis berulang kali, melihat urat-urat yang menyembul ditangan besarnya itu. Iseng, Luna membayangkan perbandingan tangan laki-laki ini dengan tangannya, ah pasti tangannya terlihat seperti ceker ayam.

Sembilan detik. Sepuluh detik.

"TUTUP PINTUNYA WOY", suara cempreng Rio memecah keheningan.

Melihat Luna yang buru-buru membetulkan posisi berdirinya agar lebih tegap, Bidadara melepaskan cengkramannya dengan wajah kecewa. Sekarang ia tampak seperti Adam kecil yang dilarang makan buah khuldi. Segala gerak-geriknya begitu mempesona. Sangat angelic.

Belum sempat mengucapkan terimakasih, Sir Cahyo, guru biologi tambun berkepala tiga—bukan, Sir Cahyo bukan Cerberus yang benar-benar memiliki kepala tiga tapi usianya yang sudah memasuki tiga puluhan—mempersilahkan Luna untuk masuk

"Aluna? Tumben kamu telat", ucap Sir Cahyo ketika melihat Luna menyerahkan surat izin telat dari guru piket tadi.

"Iya tadi dibawa muter sama mamang ojol sir", sahut Luna kalem. Ia tau Sir Cahyo tak akan memarahinya, anak kesayangan, senggol dong boss.

Alfi, salah seorang penghuni kelas menatap bidadara dengan dahi berkerut. "Lah, ga jadi ke toilet?"

Bidadara tanpa nama menggeleng kecil, lalu duduk persis disebelah bangku Luna. Tunggu, sejak kapan chairmatenya berubah wujud? Kemana Maya anaknya Bapack Solihin pergi?

Luna melempar tatapan tak mengerti pada Khalila dan Naomi yang duduk dikursi belakangnya. Keduanya sedang nyengir kuda, pasti senang bukan kepalang karena ada cogan datang.

"Maya ga masuk, sakit katanya", tutur Khalila setelah menyadari kehadiran Luna.

Sebenarnya Luna sudah tau kalau Maya sakit. Luna juga tau kalau kelasnya kedatangan murid baru hari ini. Yang ia tidak tau adalah kenyataan bahwa Maya tidak akan masuk hari ini. Bicara tentang Maya, setelah Luna menjadi chairmatenya sedari kelas X baru kali ini Maya absen. Tipikal murid yang walaupun hujan badai sampai tsunami sekalipun akan tetap masuk sekolah.

Untuk si murid baru, Luna shock karena tak menyangka kalau perawakannya akan seperti bidadara yang sengaja dilempar dari surga untuk menggoda kaum hawa. Luna yakin kalau si bidadara bukan makhluk bumi asli, pasti darahnya ada campuran air surga belahan mana.

Tuhan memahat wajah bidadara dengan penuh cinta. Rahangnya tegas, hidungnya mancung dan tidak ada belangnya, bukti pria baik-baik.

Matanya asing tapi terasa familiar secara bersamaan. Irisnya berwarna hitam seperti milik pribumi kebanyakan tapi ada sesuatu yang berbeda. Terlalu surealis, mungkin Luna pernah melihat hal yang sama di galeri kesenian sebelumnya.

Matanya juga berkilat antusias, seperti tanah tandus yang melihat awan mendung. Ah mungkin bidadara yang satu ini gemar biologi juga seperti Luna.

Belum sempat bertukar sapa, Sir Cahyo lagi-lagi menginterupsi, ia membagikan hasil quiz yang diadakan minggu lalu. Ini adalah alasan senyum Luna tidak luntur oleh cucuran keringat sedari pagi. Hanya 5 soal. Kemarin Luna mengerjakannya dengan mudah. Easy peazy lemon squeezy.

"Lebih teliti lagi yah",ucap Sir Cahyo saat membagi kertas hasil ulangan Luna.

Melongo, angka 60 tercetak besar di kertasnya. Angka itu lebih terlihat seperti 00 dimata Luna. Melihat reaksi Luna yang tidak mengenakkan, seisi kelas mulai gelisah galau merana. Masalahnya, saat murid yang paling pintar di mata pelajaran biologi saja tidak tuntas, apalagi yang lain?

"Nilai lu berapa Na?", tanya Naomi panik.

Khalila yang pandai membaca situasi menyikut Naomi agar diam.

"Kalo dia diem gini, udah pasti nilainya jelek. Mending lu diem deh daripada kena semprot", ucap Khalila yang niatnya berbisik tapi gagal karena suaranya yang besar.

"Hi Aluna", sapa si bidadara tanpa tau situasi. Diam-diam Khalila dan Naomi menepuk jidat masing-masing.

Bidadara yang malang, pikir keduanya.

Berbeda dari reaksi yang Khalila dan Naomi perkirakan. Luna tersentak kecil. Baru kali ini ada yang mengucapkan namanya dengan nada paling indah di muka bumi. Syaraf pada indra pendengarannya serasa dimanja. Koma sejenak, Luna butuh beberapa saat hingga akhirnya ia menemukan suaranya sendiri.

"Halo", balas Luna sekalem mungkin.

Bidadara tersenyum lebar.

MAYDAY MAYDAY TOLONG CABUT IJASAH LUNA DALAM BERAKTING COOL.

Sekarang Luna jadi ikut tersenyum lebar seperti perempuan tolol yang habis kena pelet.

"Namanya siapa?", tanya Luna tanpa melepas senyuman, lupa dengan angka 60 tadi.

Senyum si bidadara menyusut. Entah merasa kecewa atau terhina, padahal Luna hanya menanyakan sebuah nama.

Salahnya dimana?

  >>>

Segala kritik dan saran yang sifatnya membangun jelas sangat amat diterima dikolom komentar.

Jangan lupa masukin cerita ini di library mu!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 06, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Unreachable ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang