10 : Menyelamatkan Nyawa

288 58 21
                                    

Salju turun perlahan. Jam kota menunjukkan pukul dua belas malam kurang sedikit. Sebuah mobil sedan berwarna hitam meluncur dari utara di atas aspal Smolenskaya Pereulok. Mobil itu kemudian belok kanan memasuki jalan yang agak sempit.

Tiba-tiba mobil itu berhenti. Sang sopir dan dua orang laki-laki melihat ke kanan dan kiri, juga melihat ke depan dan belakang. Setelah dirasa tidak ada yang melihat, mereka melempar sesuatu kemudian kembali masuk dalam mobil, lalu pergi begitu saja.

Sesuatu yang telah dilempar itu bergerak-gerak. Tampak seorang perempuan muda itu tergeletak tak berdaya di atas tumpukan salju. Kedua matanya menengadah ke langit yang hitam berhias titik-titik salju yang turun perlahan.

Perempuan itu merasa seluruh tubuhnya remuk. Kedua kakinya tidak bisa digerakkan. Tangan kanannya ia rasa patah, sedangkan tangan kirinya susah ia gerakkan. Kepalanya ia rasakan nyeri luar biasa.

Salju terus turun. Udara semakin dingin menggigit. Gedung-gedung yang menjulang tinggi itu menutup pintu dan jendelanya rapat-rapat. Ia merasa sekarat. Belum pernah seumur hidupnya ia mengalami penyiksaan dan penghinaan seperti yang ia alami beberapa jam yang lalu.

Perempuan itu diperlakukan tidak sebagaimana layaknya manusia oleh tiga orang lelaki hidung belang. Ia dicambuk, dipukul dan ditendang bergantian selama berjam-jam. Empat kali ia pingsan. Dan begitu bangun ia kembali disiksa, dihina dan diperlakukan tidak sebagai manusia.

Setiap kali ia berteriak minta ampun, para penyiksanya itu justru semakin senang dan semakin beringas menghajarnya. Sampai akhirnya ia pingsan yang keempat kalinya. Ketika bangun, ia sudah ada di dalam mobil dan kemudian dilempar begitu saja ke pinggir jalan seperti kotoran.

Perempuan itu berusaha berteriak sekeras-kerasnya untuk minta tolong. Namun pita suaranya seperti sudah putus. Saat disiksa berjam-jam, ia sudah kehabisan suara karena terus menjerit-jerit kesakitan.

Perempuan itu berusaha menggerakkan kedua kakinya, tapi tidak bisa. Ia sudah seperti lumpuh tak bertenaga. Salju terus turun dan udara semakin dingin. Ia mulai menggigil kedinginan. Jika dalam satu jam tidak ada yang menolongnya dan memasukkan tubuhnya ke tempat yang hangat, ia akan mati membeku.

Ia berharap ada orang yang lewat jalan kecil itu. Di kejauhan, ia melihat satu dua orang berlalu lalang di jalan besar. Ia berteriak minta tolong, tapi suara itu tidak ada yang keluar.

Salju terus turun perlahan. Setitik demi setitik salju terus menutupi mantel perempuan itu. Ia masih bernafas, tapi ia tidak merasakan apa-apa kecuali rasa dingin dan rasa sakit yang luar biasa di seluruh tubuhnya.

Mendadak perempuan itu dicekam rasa takut luar biasa. Ia meneteskan air mata—merasa takut jika sebentar lagi dirinya akan mati. Ia bahkan tidak bisa menyeka airmatanya karena tangannya terasa kaku tidak bisa digerakkan lagi.

Ia merasa sedang berada di gerbang kematian.

Perempuan itu kembali meneteskan airmata. Apakah ia akan mati sehina itu? Apakah ia benar-benar akan mati mengenaskan seperti anjing yang mati membeku di pinggir jalan karena penyakitan? Ia sangat takut. Ia tidak siap untuk mati. Ia masih ingin hidup. Tapi siapakah yang akan menyelamatkannya dalam kondisi sekarang seperti itu? Siapakah yang akan menyelamatkannya?

Perempuan itu terus bertanya dalam lolongan panjang hatinya yang nyaris putus asa. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Di saku paltonya ada ponsel. Ya, jika ia bisa menghubungi polisi-mungkin ia bisa selamat. Atau jika ia menghubungi kerabat dekatnya—
masih ada kemungkinan besar untuk dirinya bisa selamat. Kalau pun ia harus mati, biarlah ia mati di atas kasur di dalam kamar dalam apartemennya yang hangat—jangan di pinggir jalan kecil dan membeku seperti anjing berpenyakitan.

HELP [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang