Sephora
31 Desember 2018°°°°°
Aku benar-benar merasa diriku terhempas jauh dari segala hal yang aku miliki saat ini. Ingin berteriak, tapi tak bisa. Ingin menangis, tapi tak sanggup untuk melakukannya sekarang. Tiang tumpu yang selama ini berusaha aku bangun sekuat mungkin -tinggal di ujung tanduk, satu kali sentuh saja dengan jari tanpa tenaga, sudah pasti akan runtuh. Dan aku pasti terjatuh, ke dasar jurang, atau mungkin dasar laut tak berujung.
Kenapa harus semua ini terjadi karena aku?
"Ini bukan karena kamu, Ra. Sudah seharusnya jalan takdir. Jangan menyerah dalam keadaan, jangan menyalahi takdir," ucap Mika sambil berlutut di hadapanku. "Ada aku."
Aku kembali mengangguk ketika mendengar ucapan Mika. Meski sudah beberapa kali mendapat suntikan semangat darinya, untuk kali ini, itu semua benar-benar tidak berfungsi dalam diriku. Ia menggenggam tanganku erat, aku melakukan hal yang sama. Ia tersenyum ke arahku, namun aku tak sanggup membalasnya. Ku arahkan pandangan selain kepada Mika. Ia jelas mengerti keadaanku tanpa harus ku jelaskan.
"Kamu yakin? Mau menghadiri persidangan?" tanya Mika kembali meyakinkanku untuk puluhan kalinya.
Aku mengangguk.
"Mika, boleh kamu tinggalkan aku sendiri, untuk beberapa menit?"
Ia menghela napas. "Tidak. Untuk yang itu aku tidak mau."
Aku tidak berontak, karena aku sudah tahu tepat apa jawabannya. Jelas ia tidak akan membiarkanku untuk sendirian dalam keadaan seperti ini. Alih-alih bersyukur, aku benar-benar ingin sendiri dan menumpahkan semua keluh kesah yang aku rasakan. Sebelas bulan terkahir ini sungguh membuatku frustasi untuk menerima kenyataan, yang sebelumnya tidak ada sama sekali dalam bayangan hidup seorang Sephora bahwa kenyataan akan menjadi seperti ini.
Selalu menjadi seseorang tanpa beban pikiran yang berarti selama dua puluh empat tahun nyatanya cukup membuatku lemah -tidak berdaya, ketika menghadapi masalah seperti saat ini. Seperti hidup namun sekarat, ketika seluruh dunia hancur karena berpusat dalam kesalahan yang aku lakukan. Yang sebenarnya tanpa disadari, aku lakukan.
"Sayang, kalau kamu tidak kuat dan merasa ingin menumpahkan segalanya, itu wajar. Kamu tak perlu takut untuk menangis di hadapan aku," Mika kembali membuka mulut, cemas, karena kini tanganku mulai gemetar.
"Aku tidak pernah menangis di hadapan kamu. Karena selama ini kamu selalu mengalihkan rasa sedihku. Tapi Mika, rasanya ini benar-benar berat. Bukan aku tidak percaya kamu, hanya .. entah kenapa aku tak bisa terima semua ini," Sudah puluhan kali rasanya aku menjelaskan ini kepada Mika. Kalimat yang keluar dari mulutku selalu itu, bukan apa yang sebenarnya hatiku ingin katakan.
"Aku mengerti. Namun, aku juga mengerti kalau kamu sudah tidak bisa menahan ini. Selama ada aku, kamu tidak bisa menyakiti diri kamu sendiri ketika sedang menangis. Aku bisa jaga kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME REMNANT
Science FictionSephora Coba aku ingin bertanya, apakah semua orang berhak untuk memperbaiki kesalahannya di masa lalu? Masa depanku sudah hancur, tidak beraturan, retak. Dan itu semua akan ku perbaiki apa pun caranya. Karena semua orang berhak untuk menerima masa...