"Kini saya pahami bahwa pertengkaran-pertengkaran kecil yang terjadi telah membawa saya sampai pada titik ini. Bertemu dengan kamu, seorang preman berwajah sangar namun berhati Hello Kitty."
Ia menunduk lesu, mengalihkan pandang menghindar bersitatap denganku. Aku tidak pernah mengerti dan tidak pernah melihatnya seterpukul ini. Ia tidak seperti biasanya, ia lain dari yang lain dan aku tidak tahu apa sebab dari itu.
"Dulu," ucapnya. Itu kata pertama yang meluncur dari bibirnya, memecah hening yang tadinya siap menyergap lebih lama.
Ia menghela nafas panjang, lalu kembali melanjutkan sederet kata yang mungkin memang perlu untuk disampaikan.
"Dulu kamu pernah bilang, rumah paling nyaman untuk berpulang adalah keluarga. Dan aku percaya itu."
Ia berhenti bicara lalu menatapku, lekat. Detik berikutnya lelehan air mata mengalir pada kedua pipinya, aku yang melihat hal itu hanya terpaku.
Isi kepalaku berisik, berbisik dan mengatakan sesuatu telah terjadi tanpa aku ketahui. Yang pasti sesuatu itu membuat ia bersedih.
"Aku telah pulang, mereka yang memintaku pulang. Dan tujuan mereka melakukan itu adalah untuk membuatku merasakan sakitnya kehilangan."
Ketika ia kembali bicara aku memilih diam, karena pada hakikatnya aku tidak pernah tahu kemana perbincangan ini akan bermuara.
Ia tak melanjutkan. Seketika tubuhnya terduduk, air matanya kembali luruh. Dan aku terdiam menatap Semesta runtuh, ambruk seolah tak punya daya untuk kembali menatap dunia.