Pulpen Pinjamanmu

5 0 0
                                    

Jam 00:43, aku tak bisa tidur, Kirana. Membayangkan seorang wanita yang meminjamkanku pulpen untuk menulis kata-kata yang sebenarnya tidak akan kuberikan kepadamu. Tetapi, kamu terlanjur membacanya. Padahal, tulisan itu ingin kurahasiakan padamu dan tanpa sengaja kau melihat kertas penuh coretan itu ketika kau membereskan barang-barangmu ketika kita duduk berdua di lorong kelas. Tapi, ada satu hal yang harus kamu ingat, Kirana.

"Sebenarnya surat itu hanya bagian kecil dari perasaanku, yang selebihnya bisa kau tanyakan padaku."

Kau tersenyum manis bercampur malu. Mengapa bisa ada yang membuatmu tersenyum begitu, bahkan semua pria yang mendekatimu tidak memperlakukanmu secara sederhana. Aku tahu banyak di luar sana yang ingin mendekap dan memilikimu, tetapi aku sudah tersandung lekuk pipimu yang menggembung merah merona dengan guratan tipis di senyummu. Itulah yang membuatku kagum sejak pertama kali bertemu dan duduk berkenalan satu meja.

Akan ada banyak hal lain yang lebih mengasyikkan, Kirana. Untuk itu, kau simpan baik-baik surat dariku dan cobalah untuk mencari apa yang sebenarnya kusembunyikan padamu. Aku tahu, kau memang tak suka teka-teki, tetapi aku yakin wanita sepintar dan secerdik kamu pasti tahu jawabannya.

Surat demi surat sudah terkumpul lima amplop, dan kau sengaja mengatakan padaku,

"Kau suka aku atau memang kau jago menggombal?"
"Hmm... Aku harus jawab apa?"
"Ya serealistis kamu saja atau aku kembalikan suratnya padamu."
"Aku sih enggak bisa jawab sekarang."
"Nah, nunggu aku menjauh?"
"Memangnya bisa?"

Kau terdiam. Dan benar saja, kau melangkah pergi tanpa kata. Disitulah aku baru tahu dirimu, kau bisa pergi tapi bisa aku tebak kau akan pergi kemana.
---

"Wir, aslinya kamu nggak perlu ngebiarin dia pergi."
"Kenapa emangnya, Nes?"
"Ya coba tarik ulur aja kalo sama cewek, dia cuma mau didenger."
"Sorry to say, Nes. Aku bukannya nggak mau denger dia, aku lupa."
"Lupa apa, Wir? Coba deh kamu ngomong ke aku."
"Aku lupa sesuatu sih emang," jawabku sepotong untuk melanjutkan menyeruput kopi.

Sore itu, Nessa memang sengaja menghampiriku untuk mencoba mengetuk hati agar aku tersadarkan dengan sikap Kirana. Aku harus bagaimana lagi, kebingungan dan ada beban berat di kepala. Dalam hatiku berbisik,

"Sorry, aku nggak bisa memegang erat tanganmu ketika kau pergi, Kirana."

Lampu redup, pagar mulai tersapu angin, sementara aku dan Nessa mulai terdiam di ruang tamu dengan desiran angin dan sedikit gerimis. Senja tak muncul sama seperti notifikasi dari Kirana di ponselku. Bodohnya, aku khawatir.

"Sudah, Wir. Are you okay?"
"Just a little cold to me, Nessa. Santai."

SURAT UNTUK KIRANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang