Nessa masih di sampingku untuk memastikan aku baik-baik saja, teringat kejadian kepergian singkat Kirana itulah aku makin mengerti kesalahanku. Menyesal karena sudah tak mengerti duniamu, Kirana, perasaanmu pasti sedang kalut.
Hari semakin memadamkan terik, hingga jingga menyulam cantik di langit. Tanda menuju malam telah membuka parasnya,
"Nes, kamu nggak dicariin emang udah hampir Maghrib kayak gini belum pulang?"
"Enggak, Wir. Aku udah bilang kalo aku di luarnya lama."
"Oh iya, tapi nggak khawatir memang orangtuamu?"Nessa hanya menggeleng, ada tatapan kosong di wajah manisnya. Aku termenung sejenak dan melangkah ke dapur kontrakanku.
Sembari aku membuat hidangan untuk sore ini, aku sambil melirik Nessa yang sedang membuka lembar demi lembar buku di rak kecil tepat di depan sofa.
"Wir, ini tulisan kamu?"
"Iya, Nes, jaman sekolah itu. Sudah lama."
"Suka nulis juga ternyata kamu, ya."
"Hmm, itung-itung cari cuan, Nes."Anggukan Nessa pertanda mafhum, memang Nessa-lah yang selalu mengerti walau pertemuan dengannya sesingkat pesan Kirana padaku. Aku paham juga tentang Nessa, tetapi aku hanya menyikapinya dengan biasa saja.
Teh hangat menemani sore hari di perkotaan, kontrakan tepat di sisi jalan memang terganggu raungan dan asap motor atau mobil. Tetapi, ini sudah selayak rumah hunian yang menurutku perlu segera diabadikan agar semakin banyak kenangan di rumah kecil ini.
Adzan berkumandang, aku melihat Nessa langsung bergegas mengingatkanku,
"Wir, ibadah dulu, aku disini nggak apa-apa nungguin."
"Iya, Nes. Nanti kita keluar ya."
"Mau kemana?"
"Nganterin kamu pulang. Tapi cari makan dulu, okey?"Nessa hanya mengangguk. Dia tahu sudah lama tak diperhatikan oleh siapapun, dia terlalu baik kepada orang sehingga dia merasa berat untuk menerima kebaikan orang lain, termasuk aku. Langkah kaki terangkai keluar rumah, tak jauh jaraknya ke musholla dengan bangunan cukup megah.
Nessa menunggu sembari membaca buku kesukaannya, dan selang beberapa menit teh hangat di teko besar tersisa setengah.
"Nes, siap-siap ya, aku keluarin motor dulu."
"Mau keluar sekarang?"
"Iya aku tahu kamu lapar."
"Ah sok tau!"
"Nah itu tekonya udah abis setengah, udah ayok jangan diem aja."
"Okey, aku boleh pinjam buku kecilmu itu nggak?"
"Bawa aja, Nes, barangkali manfaat buat kamu. Yuk! Aku beginian aja tanggung kebanyakan salin, kalo dicuciin enak bisa gonta-ganti baju."
"Huh! Kode Kirana mulai berdering."
"Eh!"Celetukan itu nyaring terdengar, bahkan aku dan Nessa tidak seperti teman biasa, melainkan dia specially and perfectly. Dia tahu banyak hal tentang pria dan tentunya kelembutan hatinya sudah terbukti sejak aku bertemu dengannya. Tetapi, perihal itu mesti diurungkan dan tidak perlu ditanyakan kembali.
Motor tua mentereng di hadapan mesin-mesin mewah di jalanan. Aku dan Nessa hanya memandang santai perkotaan di atas motor, sembari berbalas siulan atau meneriaki orang pacaran yang sok romantis, atau memberi celetukan pada anak-anak tongkrongan di tepi jalan.
"Wir, Wir, aku mau di angkringan sebelah taman."
"Emang disitu komplit? Enggak pengen nasgor atau nasi Padang gitu?"
"Udah, aku pingin disitu aja, lebih santai suasananya."
"Oke deh. Meluncurrr."Tepi taman yang ramai, dirimbuni booth pedagang dan banyak sekali penjual makanan dan cemilan, aku dan Nessa berhenti di sebuah angkringan yang bisa dibilang cukup sederhana. Kita langsung disuguhi asap mengepul dari godokan alang-alang dan jahe, deretan gorengan dan sate-sate yang bikin ngiler sampai mas-mas yang ramah.
"Minumnya apa, Mas, Mbak?"
"Aku susu jahe ya, Mas."
"Aku terserahe Mbaknya, Mas," ledekku sembari pura-pura memilih sate usus dan sate ceker.
KAMU SEDANG MEMBACA
SURAT UNTUK KIRANA
Teen FictionDi dalam cerita ini, Kirana hanyalah manusia biasa. Tapi sayangnya, ia memilih untuk menjadi orang yang tak biasa dilihat oleh siapapun. Apapun Kirana, dia tetap yang teristimewa dalam hidup, cerianya, senyum manisnya, baik hatinya dan segala apa ya...