🔥3. Teman Katanya.🔥

1K 171 67
                                    

Bahkan topeng terburuk itu memiliki nama. Tersenyum.

-Hi! Datraz-

×××

Untuk beberapa kejadian, kita terkadang begitu naif bahkan terhadap diri sendiri. Mengaku pasrah setelahnya akan mengeluh lagi. Jangan lupa bahwa membandingkan nasib dengan orang lain menjadi sebuah ketetapan diri.

Kontrakan kecil sederhana yang keadaannya nampak gelap, melihatnya melalui jarak cukup jauh seperti memacu Ayra agar cepat masuk ke dalamnya.

"Assala-"

"Uhuk! Uhuk!"

Justru ucapan salam dari mulutnya tertelan seketika mendengar suara batuk keras dari dalam sana. Buru-buru Ayra masuk dan menyalakan lampu ruangan, menampakkan seorang wanita tua ringkih telungkup di lantai depan pintu.

"Nenek!" gadis itu bergetar menghampiri sang nenek yang terlihat amat pucat pasi, tubuh kurusnya menggigil lalu kembali terbatuk-batuk.

Sebagai seorang gadis dengan perasaannya yang begitu halus mengiba, Ayra bahkan tak menyadari air matanya membasahi pipi, "Nenek, ini minum obatnya dulu..."

Menyodorkan air untuk neneknya yang saat ini berhasil Ayra baringkan di kasur lepek usang milik mereka. "Tarik nafasnya pelan-pelan. Minun lagi, nek,"

Gadis itu terlampau sabar pada wanita lanjut usia di depannya, satu-satunya harta paling berharga milik Ayra di dunia, "Udah lega kan nafasnya nenek?"

"Sudah, nak, sudah. Nenek tidak apa-apa, kamu jangan nangis begini, duh..." tangan keriput mengusap sayang air mata cucu tercintanya.

Ayra menatap sendu, "Ayra khawatir. Ngga mau nenek kenapa-napa, nek. Ayra mau nenek sehat terus, liat senyum nenek tiap hari itu kebahagiaannya Ayra."

Terkekeh lesu wanita dengan uban penuh di rambut, "Padahal kan cuma batuk biasa, nak... Sudah, jangan menangis."

Sia-sia saja rasanya air mata itu diusap berulang kali, pasalnya akan jatuh lagi dan lagi, "Nenek udah makan? Ayo makan dulu, abis itu minum obatnya ya?"

Membantah hanya akan membuat cucunya kian khawatir, jadilah si nenek mengangguk saja. Bahkan mengucapkan kata 'iya' saja berat karena tarikan nafasnya terasa tersumbat.

Ayra bangkit berjalan menuju dapur, berniat membuat bubur untuk neneknya. Merasakan hatinya dicubit kecil karena sisa beras benar-benar tersisa segenggam.

Sambil memasak pun otaknya terus berpikir akan mencari pekerjaan tambahan jenis apa lagi besoknya. Iya, pengeluarannya lebih banyak dibanding pemasukan.

Selesai memasak, ia menyajikan makanan lalu kembali ke kamar untuk menyuapi neneknya. Memastikan wanita lanjut usia itu makan dengan baik.

"Ayra sudah makan, nak?"

"Udah, nek. Tadi di restoran bareng beberapa temen." jawabnya sembari mengusap sisa makanan di bibir sang nenek.

Lega mendengarnya, meski mungkin cucunya ini seringkali berbohong soal makan.

Pelan-pelan memberikan neneknya air minum, Ayra menarik laci kecil samping tempat tidur, mengacaknya sedikit tanpa menemukan obat.

'Tuhan...'

"Obat nenek abis. Ayra keluar beliin-"

"Sstt... Istirahat dulu, obatnya bisa besok. Nenek tidak apa-apa, sayang. Sungguh." lirihnya amat pelan.

Gadis itu melengos, "Ngga apa-apa?"

"Iya. Ayo mandi dulu, cucu nenek bau asem," ledeknya mencairkan suasana.

Hi! DatrazTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang