Obrolan Guru BK dan Murid Berandal

107 18 11
                                    

Indonesia, 2045

Bel pulang sekolah baru saja berbunyi. Aku merapikan berkas-berkas sekolah dari atas meja, memasukkannya ke tas selempang. Seorang guru BK senior–wanita paruhbaya yang berusia 25 tahun lebih tua dariku–rekan kerjaku juga melakukan hal serupa. Kami sedang banyak pekerjaan karena sebentar lagi ujian kelulusan SMA. Murid-murid sedang sering-seringnya berkonsultasi mengenai jurusan kuliah atau pekerjaan apa yang bisa mereka tekuni setelah lulus nanti. Tak jarang sesi konsultasi itu berakhir dengan curahan hati panjang lebar mengenai kegundahan mereka tentang masa depan.

"Saya pulang duluan, ya," kata rekan kerjaku.

"Oh, iya, Bu. Saya mau nunggu sebentar, ada yang mau konsul lagi," sahutku. Sebagai guru BK, sudah menjadi tugasku untuk melayani segala keluh kesah murid.

"Siapa?"

"Itu, si Nara."

Guru senior itu memiringkan kepala, menatapku penuh selidik. "Anak itu bikin masalah lagi?"

Aku menggaruk alis. "Enggak, dia cuma bilang mau konsul."

"Oh, okelah. Saya bosan ngeliat nama anak itu jadi langganan BK gara-gara buat masalah terus. Untung sekarang dia tobat."

"Semoga," jawabku ragu.

"Ya sudah, saya pulang duluan, ya."

"Iya, Bu. Hati-hati," ucapku ramah.

Setelah wanita itu keluar dari ruang BK, aku beranjak dari kursi, berdiri di depan pintu sambil memperhatikan murid-murid yang berjalan berkelompok menuju gerbang. Beberapa dari mereka menyapaku santai. Sebagai guru BK muda yang dikenal baik dan ramah, aku sangat akrab dengan sebagian besar murid walaupun baru dua tahun mengajar di sekolah ini.

Sepasang mataku tertuju pada seorang siswa yang berjalan sendiri di tengah lapangan. Dia adalah Nara, siswa yang selalu bersaing di daftar murid dengan nilai terendah dan pelanggaran terbanyak di sekolah. Aku langsung mengenalinya dari gayanya yang berbeda. Murid-murid lain masih terlihat rapi bahkan sampai pulang, sedangkan dia sudah tampak urakan bahkan sejak baru datang. Jaket yang dia kenakan juga mencolok, berwarna hitam bergambar logo band metal yang mungkin hanya dia yang tahu di sekolah ini. Aku lupa apakah aku pernah melihatnya mengenakan almamater sekolah atau tidak, yang jelas guru-guru sudah lelah menegurnya agar tidak mengenakan jaket semacam itu ke sekolah.

Saat dia mendekat, aku bisa melihat rambutnya beterbangan tertiup angin. Rambutnya sudah terlalu panjang untuk standar sekolah, tapi lagi-lagi kami sudah lelah menegurnya. Terkadang kami mengambil tindakan tegas dengan menggunting rambutnya di sekolah, tapi pemuda satu ini sepertinya tak kenal jera.

Satu-satunya alasan pemuda itu tidak dikeluarkan dari sekolah adalah prestasinya di bidang musik. Dia berkali-kali mengharumkan nama sekolah dengan menjuarai berbagai kompetisi gitar tingkat nasional.

"Pak," sapanya singkat.

"Ayo, masuk."

Aku duduk di kursi, berhadapan dengan Nara. Pemuda itu membetulkan posisi duduknya, lalu berkata lugas, "Saya nggak tau mesti ngapain habis lulus."

Aku menautkan jari, sedikit terkejut sekaligus lega karena pemuda urakan ini ternyata masih mencemaskan masa depannya. "Kenapa gitu?"

"Saya bingung, Pak. Saya ngerasa nggak punya motivasi lagi."

"Kamu maunya gimana? Mau lanjut kuliah atau mau langsung kerja?" tanyaku.

"Pak, kalau saya tau, saya nggak konsul ke sini. Saya butuh saran."

Aku menghela napas seraya menggaruk kepala. "Ya, kalau saran Pak Guru, kamu mending kuliah aja. Sertifikatmu yang juara-juara nasional itu kan banyak, coba pakai untuk cari beasiswa. Walaupun nilaimu jelek, kamu bisa lulus, kok."

Obrolan Guru BK dan Murid BerandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang