"Maafin aku yah!" ucap Denya dengan wajah agak menyesal.
"Dih. Katanya gak jadi." jawab Fira agak nyolot.
"Yah sorry. Tadinya sih gitu. Tapi, katanya dia sudah nunggu." Denya keluar rumah dengan jaket warna abu yang sama saat menungguku tadi.
"Dia mau kemana sih?" Aku melihat wajah Fira dengan alis sedikit mengkerut.
"Ketemu pacarnya." Fira memegang pulpen tanda siap untuk menulis
"Dimana?" tanyaku kembali.
"Yah gak tau. Udah mending kerjain dulu nih tugas." Fira mengetuk-ngetuk bukunya dengan ujung pulpen.
"Terus si Denya gimana?"
"Biarin aja. Nanti aku yang ngasih tau. Tugas Fisika dan Kimia kamu juga belum, kan! sekalian aja tuh lihat dari bukunya si Denya!" Fira menunjuk buku bersampul warna coklat dan juga bertuliskan Denya Wati Anggraeni yang berada di samping ransel berwarna biru dan sedikit ada garis putih.
"Oh ya udah." Aku membawa buku dan pulpen di ranselku.
Entah sial atau beruntung. Hari ini, aku bisa ke rumah Denya. Namun Denya malah pergi dari rumahnya. Setelah kurang lebih setengah jam aku dan Fira selesai mengerjakan tugas masing-masing. Cukup cepat karena lebih ke nyontek dibanding mengerjakan sih, hehe. Baru selesai tugas, tiba-tiba pegangan pintu bergerak ke bawah tanda ada orang yang memegang dan menekan pegangan itu dari luar, orang itu ternyata Denya.
"Ayo kita kerjakan tugasnya!" Denya masuk rumah dan menghampiri ransel berwarna biru tadi.
"Udah selesai kali!" balas Fira sedikit lantang.
"Oh gitu. Ya udah kerjain tugas Wili aja, tugas Kimia dan Fisika kamu belum, kan?" Denya melirik ke arahku.
"Udah tadi, lihat di bukumu." balasku tanpa rasa bersalah.
"Nyontek?!" tanya Denya yang mengagetkanku.
"Iyah, tadi disuruh dia." Aku melihat ke arah Fira.
"Ih gak tau, dia aja yang mau." Fira melihat Denya.
"Tadikan--"
"Udah gak apa-apa. Udah terjadi jugalah." Denya mengambil bukunya yang tadi aku contek.
"Kalau gitu aku pamit pulang yah!" ucapku refleks.
"Oh ya udah. Maafin aku yah! gak bisa ngerjain tugasnya bareng.
"Yah gak apa-apa." Aku memegang pegangan pintu dan menarik kearahku.
Agak sedikit kesal dikerjain Fira, namun aku tak terlalu memikirkannya. Mungkin Denya juga belum terbiasa di contek. Nanti juga bakalan seperti aku dan Fira dimana saling nyontek menjadi tradisi dan tak menjadi masalah lagi. Meski itu hal buruk di pertemanan kami saat SMP, namun percayalah hal itu dapat menguatkan pertemanan tapi bisa juga meruntuhkan pertemanan kalau teman itu gak dikasih contekan, hehe. Setibanya di rumah aku langsung terbaring lemas, karena kaki yang jarak olahraga jadi mudah pegal saat harus jalan kaki cukup jauh.
Aku teringat kalau hari minggu biasanya aku dan Rega selalu mengobrol di rumahnya sekaligus menemaninya karena orang tuanya jarang di rumah kalau hari minggu. Namun dengan keadaanku yang lemas, aku tak kuat lagi untuk berjalan kaki meskipun tak sejauh rumah Denya. Akhirnya giliran Rega yang datang ke rumahku.
Sembari menunggu, dengan tubuhku yang gerah dan cukup berkeringat ini, aku mandi. Sebuah kejadian langka, jarang dan ajaib. Saat aku mandi di hari minggu. Hari minggu aku gak keluar dari rumah makanya aku jarang mandi kalau hari minggu, mubazir aja kalau mandi tapi cuman dikamar doang, hehe.
"Wil..." sahut Rega dari luar.
"Masuk aja, Ga!" teriakku.
"Lagi ngalain oy." Rega membuka pintu kamar mandi dan sedikit menongolkan kepalanya kedalam seperti mengintip.
"Yah mandilah, njir!" Aku sedikit teriak. "Lagian ngagetin aja, lu." Aku menggosok-gosok kepalaku yang berbusa.
"Kali aja lagi main sabun gitu." Rega mengangkat kedua alisnya.
"Yah kali gue itu Rega si penakluk cewek tapi ceweknya gak takluk-takluk." balasku.
"Sindir terus! udah ah. Gue mau nyeduh kopi dulu." Rega menutup pintu kamar mandi
"Dua yah!." Aku sedikit teriak.
Aku selesai mandi dan memakai pakaian pun sudah rapih. Siap untuk ngopi dan ngobrol. Kami berdua ke kamar lalu duduk di lamtai kamarku yang beralaskan karpet. Aku menyetel lagu dari Handphone-ku. Seperti biasa kalau gak Fourtwenty pasti Payung Teduh yang enak di dengar kalau pas ngobrol.
"Tumben lu mandi di hari minggu?!" Rega membawa rokok dari bungkusnya.
"Iyah soalnya tadi gue gerah banget." jawabku sesudah membakar ujung rokok yang aku jepit pakai mulut.
"Tumben lagi lu hari minggu gerah?! Rega membawa korek yang masih ada ditanganku.
"Iyah tadi aku jalan kaki setengah jam," jawabku sesudah menyeruput kopi.
"Tumben lagi lu jalan di hari minggu?" Rega lalu menyeruput kopi.
"Iyah ada cewek yang minta disamperin." Aku memegang kembali handphone yang aku taruh setelah menyetel musik dan sebelum menyalakan rokok.
"Tumben lu--"
"Ah lu, dari tadi tumben mulu." Aku memotong ucapannya. "Kaya gak ada kata lain."
"Iyah juga yah," ucapnya tanpa baru sadar.
"Tumben lu ngaku!" ucapku.
"Tuh lu juga pakai kata tumben." Rega menunjuk ke arahku.
"Yah udahlah! nanti gue ketularan lu."
Saat itu kami mengobrol terus yang gak jelas. Namun ada juga pembicaraan yang cukup serius meski tentang cewek. Aku pun cerita tentang kejadian di rumah Denya. Sampai sore Rega pamitan karena orang tuanya pulangnya sore, gawat juga kalau Rega gak ada di rumah pas orang tuanya pulang.
"Hati-hati nanti kejadian lagi loh, pas waktu SMP, kisah cinta yang teragis." celetuk Rega seraya berdiri.
"Ah gak bakalanlah yakin aja gue." gumamku.
"Ya udahlah semoga gitu. Gue pulang dulu yah!" Rega keluar kamarku.
Aku tak mengantarnya sampai pintu depan karena kami menganggap kalau rumahku sudah seperti rumah rega, begitupun sebaliknya.Mendengar celetukkan Rega memang terdengar hanya guyonan. Namun kejadian itu masih ingat di dalam pikiranku.
bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Friendzone
Non-FictionSeorang siswa SMA, yang lambat bergaul dengan orang baru, dan apapun yang terjadi lebih banyak menyikapinya dengan diam. Mengalami masa remajanya, dengan menahan rasa cintanya kepada seorang wanita yang memiliki senyum termanis. Dengan badannya yang...