Sementara mereka berdiskusi, aku hanya bengong dan bingung karena alat pribadi yang harus dibawa yaitu syal, aku tidak punya.
"Hey! kamu kenapa." Wanita itu mengagetkanku. "Kok malah bengong sih," tanya Wanita itu.
"Eh gak ada apa-apa kok." Aku sedikit malu.
"Beneran gak kenapa-kenapa?" tanya Wanita itu.
"Ehhh, iyah beneran." Aku masih malu.
"Ok deh."
Diskusi kami selesai, teman kolompokku langsung pada pulang sementara aku berbincang-bincang sedikit bersama Cindra tentang kelompoknya.Malamnya aku menyiapkan alat-alat yang ditugaskan oleh calon kakak kelasku, entah siapa namanya. Sesudahnya, aku hanya melamun memikirkan syal siapa yang harus aku pinjam dan memikirkan kejadian tadi juga.
"Gampang akrab juga yah itu cewek, berbeda denganku," gumamku pelan.Tiba-tiba HP-ku berbunyi, tanda ada yang menelpon, nomernya tidak dikenal.
"Hai!"
"Hai juga, ini siapa yah?" tanyaku.
"Ini aku Denya," balasnya.
"Denya yang mana yah." Aku bingung.
"Ini aku yang tadi nanya kamu pas bengong!" ucapnya.
"Oh kamu, maaf aku gak tahu namamu." Aku pura-pura biasa saja padahal aku kaget.
"Makanya tanyain dong," canda Denya.
"Hehe, tadi gak keburu." Padahal aku malu. "Oh iyah, ada apa, De?" tanyaku sedikit tenang. "Tau nomerku dari siapa, terus ada apa menelponku?"
"Ehhh, satu-satu dong nanyanya! Aku suka bingung." Denya seperti kesal.
"Hehe, maaf." Aku tersenyum sendiri mendengar suara dari gawai itu.
"Tadikan kelompok kita nulis nomer semua, malah kamu yang paling pertama dan kebetulan nulisnya di buku aku. Makanya aku tahu nomermu," jawabnya.
"Oh iyah, aku lupa," ujarku basa-basi padahal aku udah tahu.
"Aku tadi penasaran aja, ketika yang lain diskusi kamu malah bengong," cakap Denya.
"Ohhh itu, padahal gak ada apa-apa kok." Aku masih malu untuk terus terang tentang syal itu.
"Ahhh, jangan bohong deh! Aku tahu kok gelagatmu itu, beda sama yang diomongin." Denya menjelaskan.
"Hehe, iyah aku gak punya syal," gumamku sedikit ragu.
"Oh tenang aja, aku ada nih! kebetulan aku punya dua," ucap Denya.
"Beneran?" Aku sedikit tersenyum.
"Iyah beneran!" Denya meyakinkanku.
"Boleh dipinjam?" tanyaku.
"Gak boleh," candanya. "Ya bolehlah masa udah dikasih tahu gak dipinjamin."
Denya tiba-tiba menutup teleponnya sebelum aku mengucapkan terima kasih.
Aku kembali melamun, benar yang kukatakan tadi, dia memang gampang akrab dan gak sungkan terhadap orang baru, berbeda sekali denganku; aku kaku dan malu.
Malam minggu ini, emang berbeda dari sebelumnya. Aku tak bisa tidur, aku hanya coret-coret kertas dengan pulpen, sekadar menuliskan kata-kata yang ada di pikiran, seraya mendengarkan musik yang diputar di gawaiku. Sampai tak terasa waktu sudah pagi, aku masih belum tidur.
"Apa aku chat Denya aja yah?!" Pikirku saat itu. Namun aku masih ragu dan malu, aku pun memberanikan diri untuk mengirim pesan via whatsapp."Hai!" sapaku lewat chat.
Ternyata whatsapp-nya belum aktif lagi. Seraya menunggu aku sarapan terlebih dahulu karena apapun yang terjadi aku selalu mengutamakan makan, Kalau kata orang-orang sarapan dulu sana karena berharap itu butuh tenaga lebih, hehe.
Tak lama dari itu dia pun aktif dan sedang mengetik pesan kepadaku.
"Iyah hai juga!" Denya membalas pesanku
"lagi ngapain, De?" tanyaku basa-basi.
"Biasa pekerjaan wanita, beres-beres rumah. Kamu udah sarapan belum?" tanya Denya seperti sudah biasa.
"ehhh, udah sih." Aku sedikit canggung. "Kalau kamu," tanyaku balik.
"Belum, jam segini bukan waktu sarapanku," ucap Denya. "Udah dulu yah aku mau lanjutin beres-beresnya." Denya tak aktif kembali.
"Ok," balasku.Aku udah lama tak merasakan hal seperti ini, terakhir merasakannya waktu awal kelas sembilan SMP dan itu pun berakhir jauh dari harapkanku. Semoga yang satu ini berakhir sesuai harapanku.
Aku pun tak sabar menunggu hari besok, entah kenapa.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Friendzone
Non-FictionSeorang siswa SMA, yang lambat bergaul dengan orang baru, dan apapun yang terjadi lebih banyak menyikapinya dengan diam. Mengalami masa remajanya, dengan menahan rasa cintanya kepada seorang wanita yang memiliki senyum termanis. Dengan badannya yang...